Minggu, 30 Agustus 2020
Rasi Bintang Taurus...
Sabtu, 29 Agustus 2020
Malam penuh bintang..
Cinta mungkin adalah hal yang indah untuk dibahas oleh sebagian orang. Namun tidak untukku, 14 tahun aku belum pernah pacaran, dan seolah tak ada wanita yang sekedar menolehkan kepalanya padaku dan memastikan bahwa aku memang ada di dekat mereka. Pahit memang, tapi itu memang kenyataan yang tak terelakkan selama 14 tahun aku berkelana.
"San, baca soal no 25 sekarang!", suara keras dari guru ekonomi itu membuyarkan lamunanku dan semua kawanku tertawa melihatku tergopoh meninpali perintah yang mengagetkan itu.
Ini tahun keduaku di SMP, yang terbaik di kotaku. Aku akhirnya berhasil melewati batas minimum NEM untuk bisa masuk ke sekolah favorit, bisa dibilang aku akhiri taun terakhirku di SD dengan predikat memuaskan.
Perjuangan 7 hari les tanpa henti yang diminta ibuku dengan menyewa salah satu guru privat berhasil menempatkanku di jajaran terbaik di SD ku, walau bukan 10 besar, tp cukup membungkam kawan kawan yang dulu mencibirku karena aku dianggap tak pantas masuk kelas A.
Itu yang aku benci dari sistem pendidikan di SD ku, bayangkan saja, anak anak yang mestinya masih mencari pokok jati dirinya sudah dipisahkan secara strata IQ dengan embel embel peningkatan mutu kualitas pendidikan anak. Aku memang tak begitu beruntung dalam process klastering itu dimana aku ditempatkan di kelas B ketika kelas 4, hanya karena kepribadianku dianggap rusak oleh wali kelasku saat itu. Kembali lagi, apa iya seorang anak bisa langsung di stempel sebagai anak nakal dan di klastering seperti itu? Entahlah..
sekolah ini sangat bonafide, beruntung aku berhasil menempatkan diriku disini dengan segala upaya yang dilakukan orang tuaku saat aku SD dulu.
Sekolah ini sudah ada sejak jaman penjajahan, banyak kawanku yang bercerita dulu sekolah kami ini dipakai sebagai rumah sakit, markas jepang, tempat penampungan senjata, dan banyak lagi versinya. Menariknya ada salah satu sudut ruangan yang tak ada lagi berani masuk bahkan hanya untuk mengintip ruangan itu, gosipnya kita bisa terlempar ke masa penjajahan dulu hanya dengan membuka pintunya. Aneh memang, tp itu yang dipercaya kumpulan anak 13-14 tahunan yang bersekolah disana. Walau kutau, pikiran ga jelas katak gini ga cuma terjadi di sekolahku, kalian juga pasti berfikir sekolah kalian adalah bekas rumah sakit juga hahaha
Bagian depan sekolah kami masih dipertahankan bentuk bangunannya sejak jaman penjajahan, termasuk lorong itu, Lorong yang cukup magis dengan suasananya yang syahdu dan cukup membuat bulu kuduk berdiri ketika maghrib sudah tiba.
Karena cukup terkenalnya sekolah kami, banyak keluarga dengan kemampuan finansial diatas rata rata yang menyekolahkan anaknya disana. Artinya selain nilai bagus, gadis gadis paruh baya yang memasuki masa pubertas dengan wangi wangian di jamannya pasti mudah ditemukan di sekolahku ini.
Termasuk di kelasku, disini ada memang beberapa gadis yang berhasil membuatku tak tidur setiap malamnya, mencoba membayangkan kalau salah satu dari mereka jadi pacarku saat itu.
Tapi tidak dengan gadis itu.
Aku tau namanya, tapi tak tau apakah dia tau siapa namaku. tiap senin dan kamis sore kami bertemu di halaman tengah sekolah namun bukan untuk saling bertegur sapa, hanya sekedar melihat dan menahan lelah karena kami memang di ekstra kurikuler yang sama.
Dia cantik, tapi karena keberanianku saat itu hanya setinggi tanah yaa aku hanya memasukkan dia dalam katalog gadis gadis cantik di sekolahku, tak ada lanjutan cerita tanganku bergerak untuk memperkenalkan diri atau sengaja kutabrakkan diriku sehingga bisa berkenalan dengannya. Sebut saja aku pecundang karena cerita monyet ini tak berlanjut dengan bahagia.
Tapi saat itu kawan, suara kecil itu datang dan bilang bahwa nanti kami akan bertemu di masa depan, kelak, ketika bintang kembali terang memenuhi langitNya, walau dinginnya malam tak lagi sama tapi kami akan bersama...
Selasa, 13 November 2018
Kejora Senja ....
Dalam 7 hari kedepan, kedua orang tua kami akan berangkat ke tanah suci tunaikan rukun dan melengkapinya dengan sempurna. Malam ini, semua akan terbuka, untuk kami, aku dan satu satunya adik laki lakiku
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Agustus 1972
"Pak, dia janjiin bakal sekolahin aku, di kota besar itu", rajuk seorang anak yang baru tamat sekolah dasar hanya dengan celana menggantung di badan nya.
"hmm..", seputung rokok tanpa filter dihisapnya dengan kuat. Terlihat dia adalah sosok yang kuat, eks tentara pelajar, lengan nya terbiasa dengan cangkul, bibir yang penuh dengan nikotin dan sorot mata yang tidak biasa.
"Aku ga minta apa apa nanti, Pak! Cuma minta bisa sekolah" lebih kuat pinta anak itu kepada pria yang masih berlumur kringat yang sepertinya tak menghiraukannya dengan terus menghisap rokok di tangannya.
Hari itu sore hari pada umumnya, terik cukup menyengat tanpa angin di sekitaran hamparan sawah karena memang rumah kecil itu berada tepat di sekitar persawahan yang tak begitu subur karena kurang nya pengairan disana.
Daerah itu sebenarnya adalah daerah yang cukup dekat dengan sistem irigasi yang dikelola oleh perangkat desa. Namun karena keterbatasan ekonomi warganya yang tak menyanggupi biaya bulanan perawatan sistem imigrasi tsb, daerah itu tidak mendapatkan jatah pengairan dan hanya mengandalkan lebatnya hujan untuk bisa memastikan panen didapat.
"Aku ga punya duit!" hentak pria paruh baya yang tak hentinya sedari tadi menghisap rokok yang cukup populer saat itu.
"Tapi, pak?! Dia janjikan aku semuanya disana, di Jakarta!" Balas anak itu berisikeras meyakinkannya
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Juli 1972
"Di sana nanti sudah ada gedung bertingkat, kereta di tengah kota, mobil lalu lalang, sekolah top dimana saja kamu bisa milih, ndar", rayu seorang pria yang tak tampak dikenal di kalangan warga di sekitar dusun itu
"Memang ada kereta di tengah kota?" tanya seorang anak yang terus terusnya menatap dengan kesima cerita dari pria gemuk berkacamata itu.
"Loh kamu ga tau Jakarta? Jakarta itu kotanya Soeharto, mantap! Jangankan kereta ditengah kota, kamu mau liat bandara di tengah kota juga ada (red: kemayoran airport)" jawab orang itu kembali meyakinkan anak anak yang sedari tadi mendengarkan cerita itu.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Simbok (red: ibu), aku berangkat ya, mohon maaf kalau memang ada salah, mohon maaf sudah menentang apa yang bapak larang, aku cuma mau sekolah", suara lirih terdengar samar sembari isak tangis keluar dari mulut ibu paruh baya itu
Dia anak ke enam dari tujuh bersaudara, anak pertamanya merantau ke pedalaman Bandung untuk berjualan kain. Anak keduanya ngotot bekerja serabutan, dan sisanya terpaksa mengikuti ayahnya menjadi buruh tani lepas di daerah yang barang tentu bisa hujan satu minggu satu kali.
Menjadi buruh tani serabutan bukan hal yang aneh di daerah itu. Lahan dimiliki sebagian orang kaya dan mereka menyewa buruh tani untuk mengerjakan lahan mereka. Tidak cukup memang, tapi dengan bantuan uang gaji pensiunan sebagai tentara pelajar setidaknya masih bisa membeli satu bungkus rokok tiap hari nya walau tak tau anaknya sudah tercukupi tidak saat itu.
Pria paruh baya itu tak menoleh melihat anaknya yang baru saja selesai sekolah dasar berpamitan. Di tangan nya tetap ada rokok dan di sisi tangan lainya menunjukkan memang dia pantas terjun ke medan pertempuran saat itu.
dengan menahan tangis anak itu tetap pergi untuk menggapai impiannya, untuk melanjutkan sekolahnya di ibu kota negeri, Jakarta.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"petok...petok..petok" suara ayam jelas sekali terdengar, bau menyengat khas tai ayam menyerbak tak hanya memenuhi ruangan, tapi juga di seluruh badan seorang anak yang sedari tadi memikul katul (dedak beras) untuk dipindahkan ke dalam gudang storage.
Jakarta memang ibu kota negara, tapi tak bisa dipungkiri, rumah panggung 100 meteran masih terlihat penuh berisi ayam atau bebek yang coba mereka ternakkan di masa itu.
Satu tahun sudah berlalu, 12 bulan besar sudah terlihat di setiap malam kota ibu kota. Tak ada seragam, tidak ada buku, dan tidak ada kereta di tengah kota. Hanya rumah panggung kayu yang berisi ayam yang dilihatnya dalam 12 bulan terakhir.
Dia hanya bisa diam, tak ada serapah yang sanggup dikeluarkan anak 12 tahunan yang hidupnya tak jauh dari tahi ayam.
"Kumpulkan ayam yang sudah 3 bulanan, nanti sore ada orang yang mau ambil", perintah sesorang gemuk berkacamata dengan membawa rokok yang jelas memiliki filter di dalamnya.
Pria itu masih sama, tak berubah suaranya ketika dia menjanjikan sekolah top di ibu kota, ketika dia menceritakan megahnya kereta di tengah kota. tak sedikitpun berubah hanya gelang emas baru di lengan kanan nya, dan satu kancing di bukanya laiknya Cliff Sangra idola para wanita di era nya.
Jelas semua yang dihadapi saat ini bukan seperti apa yang dia pamitkan ke kedua orang tuanya tepat beberapa saat dia masih coba yakinkan bahwa dia akan menjadi orang besar di Jakarta, karena dia akan menuntut ilmu di lingkungan yang berpuluh kali lebih tinggi standard nya dibanding di kamungnya.
Malam dia hanya bisa menangis, ditemani suara ayam yang terus tak berhenti mengganggu dingin nya Jakarta yang saat itu sudah mulai memasuki musim penghujan. "Sudah penuh dengan tai, tak ada matahari yang membuat kering semua kotoran ini", gerutu anak itu sembari menyeka air matanya.
Janji itu tak terpenuhi,
Awal taun 1973
Dengungan shalawat nariyah terdengar jelas dari bilik kamar yang tak ubahnya sebuah bedeng untuk melepas lelahnya. Suara shalawat yang syahdu dan sungguh merindu akan Nabi dan penciptanya samar terdengar bias di telinga dan membuatnya terbangun terlepas dari tangisnya semalam yang sudah berhasil menghancurkan dirinya sehabisnya. Terguntai dia melepas kasur yang menyelimutinya dengan erat untuk bangun, mengambil air wudlu dan mencoba kembali ke kehidupan, bukan kehidupan yang masih cukup suka cita bagi anak seumurnya tentunya.
Tangis kembali hadir seusai dia balikkan kepalanya saat salam di rekaat terakhir subuh itu. Dia tak sanggup, dia hanya ingin sekolah, bukan sebagai buruh ayam yang harus merawat ribuan ayam dan membersihkan kotorannya di ibu kota.
Ibu kota sungguh tak bersama dia saat ini, mimpinya menjadi seorang yang lebih mengerti menjadi ayal mengilang karena semua janji itu tak ubahnya gelembung sabun yang langsung menghilang karena tertiup angin.
"ndar, buruan bangun terus pilihin ayam yang bisa dikirim ke pasar", suara muncul dari luar bilik membuyarkan tangis yang memang tak sesendu malam tadi.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Pasar Minggu orang menyebutnya, tak jauh dari sana ada beberapa pos pengumpul tengkulak ayam untuk nanti disalurkan lagi ke penjual pecel lele di sekitaran Jakarta. Badannya tetap kecil, hitam legam dengan perawakan yang cukup kekar namun bukan karena dilatih di fitness center, ulah penjanji palsu yang meminta dia selalu membawa berkilo kilo dedak makan ayam yang berhasil membuatnya memiliki tubuh yang cukup solid di usia nya.
"aku harus pergi pokoknya", gumam dia dalam hati mencoba menguatkan diri.
Dia belokkan arah lajunya arah yang lebih jauh dari tempat dia melepas lelahnya, kampung rambutan.
"Jogja, Jogja, Solo, Wonogiri...", suara hiruk pikuk tak terelakkan dan penuh dengan panas dan keluh di siang itu.
"ayo mas, ke Solo, kita berangkat sore ini", seorang paruh baya yang sepertinya bukan pegawai resmi mencoba menawarkan tiket kepada anak itu.
"berapa pak kalo saya mau ke solo?", tanya anak itu
"Lima ribu saja, langsung berangkat, dapat makan sekali", jawab calo itu
"Saya cuma ada tiga ribu, pak", jawabnya langsung. "Saya mau pulang pak tak ada lagi uang saya untuk ke solo, sudah ditipu saya", ditimpalnya langsung penuh keyakinan.
"Kenapa kamu? Kamu diculik? badan kayak gitu kok diculik?", jawabnya seolah tak percaya melihat seorang anak dengan badan cukup bagus bilang tak ada uang lagi
"betul pak, saya sudah ditipu di Jakarta, saya mau pulang, saya ga sanggup lagi", terisak anak itu mulai bercerita.
dengan segala hal yang bisa dilakukan untuk meyakinkan suara knalpot dan deru debu di sekitaran terminal kota itu, akhirnya anak itu berhasil mendapat tiket nya.
Dia kembali melihat langit sore itu, tanpa membawa apapun yang dia tinggalkan di Jakarta. Dia mencoba menguatkan sekali lagi, dia hanya ingin bersekolah, dia hanya ingin mengubah nasibnya, dia ingin mencoba membuktikan bahwa dia akan menjadi seseorang. Yang tentunya jauh lebih bermakna dari nasib yang dialaminya.
----------------------------------------------------------------------------
Langit sore ini serupa dengan apa yang dilihatnya 36 tahun lalu, pertama kalinya dia jejakkan kakinya di armada terbesar yang dimiliki Indonesia saat itu, Boeing 747. Sebuah pesawat milik salah satu BUMN yang memang disewa untuk penerbangan ke tanah suci.
dia tersenyum, tak percaya, dan masih penuh kegempitaan di dalam dirinya.
hari ini sama dengan 36 tahun lalu, anak yang berhasil pergi untuk merubah nasibnya saat ini sudah dengan bahagianya bersiap menuju tanah suci.
Deru pesawat ini cukup kencang hingga beberapa rumah di sekitar bandara Adi Sumarmo cukup bergetar ketika akan lepas landas. Dia duduk di jendela, menatap jingga nya awan, dengan kejora senja yang seolah tersenyum kepada nya, senyum yang akan membuat dia bahagia selamanya....
Selasa, 21 Februari 2017
Menuju Andromeda....
Rumah kami tak begitu besar, 6*8 meter, tak ada batas antara ruang makan, ruang keluarga dan ruang tv. Sampai ibu ku pun pusing bagaimana meletakkan berbagai macam sarapan yang sudah dia buat pagi itu untuk dua anak laki-lakinya, suami, dan adek perempuan (dibaca: tanteku) yang kebetulan tinggal juga disana.
Berjalan gontai aku mengambil handuk dan perlengkapan mandiku menuju kamar mandi, 06.30 pagi itu, dan semuanya terasa normal padahal ada bahaya yang sebenarnya mengincar diriku.
Tak kurang sudah sejak aku di taman kanak kanak aku pindah ke Rumah ini, Rumah dinas untuk kepala cabang dari perusahaan percetakan buku terkemuka di kota solo. Agak bingung kalau disebut rumah dinas, ini lebih bisa disebut laiknya wisma, bahkan wisma lebih baik. Tapi kami bersyukur tidak harus membayar kontrakan rumah yang biayanya sendiri lebih baik dialokasikan untuk study plan ku dan adikku.
Di belakang rumah kami tinggal beberapa sales percetakan yang memang disiapkan untuk tinggal disana, rata rata mereka tinggal di kamar 2*3 meter setiap orang nya, cukup sempit namun nyaman bagi sales sales yang siap melacurkan bisa mulutnya untuk berjualan buku dari satu sekolah ke sekolah lainnya. Mereka bahagia, itu yang harus kita akui disana.
"Ayolaah naaak, sudah jam 7 ini, kamu mau sekolah enggak sih sebenernya?", teriak bapakku membuyarkan nasi sarden dengan karak (nasi yang dikeringkan lalu digoreng) ditanganku.
bergegas aku ambil tas berteriak minta diantar oleh bapak, "AYOOO PAAK!", teriakku dengan lantang.
"Matilah aku...", gumamku dalam hati sesampai aku di sekolah.
Celaka dua belas, pintu gerbang besar itu ditutup, bapakku memohon security sekolah untuk membukakannya.
"Besok jangan telat lagi ya pak", ujar bapak 40tahunan yang sudah sejak lama bekerja sebagai petugas keamanan merangkap sebagai tukang kebon dan penjual jajanan siang di sekolah.
Terdengar nafas bapakku terengah mengantarku sampai depan sekolah. Jalanan cukup macet pagi itu, di Kota Solo tepat sebelum reformasi Soeharto bergulir.
"Udah pak, sampai sini aja aku jalan sendiri", pintaku ke bapak agar bapak tidak melihat scene selanjutnya di pagi ku di sekolah.
Bapak mengiyakan dan kembali menhidupkan motornya untuk kembali bekerja.
--------------------------------------------------------------------------------------------------
10 tahun yang lalu, di kota yang bisa dibilang salah satu janin dari pulau jawa karena berbagai peristiwa penting baik perjuangan maupun pemberontakan terjadi disini. Walau itu tak ada hubungannya dengan cerita ini, namun cukup bisa di cocoklogikan dengan apa yang terjadi menimpaku.
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Masih sama seperti biasanya, pintu sudah tertutup. Kulihat jam sudah lewat 15 menit dari peraturan tertulis yang ada di sekolah tua itu.
Sialnya, pintu terbuka dan kulihat pria berusia sepantaran bapak sudah memicingkan dahinya, dia letakkan tangan kanan di saku kanannya, dan tangan kiri memegang penggaris kayu legendaris dengan panjang 1 meter dengan hebatnya.
"Apa yang kamu mau sekarang?", teriak pria itu kepadaku.
Dia sebenarnya tidak terlihat begitu keras, lebih lucu dengan dua kumis lele yang dia miliki. Kadang tingkah konyolku adalah membayangkan kedua kumis lele itu bergerak keatas dan kebawah menunjukkan mood yang dia punya. Aku membayangkan kumis itu akan bergerak keatas jika mood nya sudah memburuk, dan sebaliknya sang lele akan menurunkan kumisnya kebawah jika moodnya membaik.
"Maaf pak, saya salah" Jawabku dengan mencoba lirih. Aku tau ini sudah telatku yang kedua di minggu ini, dan ke enam di caturwulan ini. Hebatnya aku sudah menghabiskan 20% waktuku diluar kelas hanya karena setiap scene ini berujung aku harus tinggal di luar sampai istirahat pertama selesai.
Naas, cerita itu tidak berubah. 09.00 bel itu berbunyi dan total 2 jam aku habiskan dengan tidur di UKS (Unit Kesehatan Sekolah). Sang lele berhasil membuatku tunduk setidaknya di caturwulan ini.
Aku berjalan tanpa sapa, usiaku sekitar 8 tahun saat itu, dan menurutku itu cukup menyakitkan. Tapi untungnya aku belum tau beda disakiti dan diperhatikan saat itu.
Kursi tinggal satu karena saat itu satu kelas hanya 40 orang, ada 20 meja yang mengakomodir 20 pasang siswa/wi di ruangan itu. Bagai jatuh tertimpa tangga, satu kursi sisa itu tepat didepan sang lele. Cuma bisa kugaruk kepalaku mengingat begitu indahnya pagiku itu.
-------------------------------------------------------------------------------------------
"Buka LKS halaman 58 dan mulai kerjakan pelatihan 3 untuk ulangan kita siang ini sebelum pulang". Perintah sang lele sebelum dia mengakhiri kelasnya hari itu.
Senyum lebar muncul ketika kunci jawaban disampaikan selepas ulangan berlangsung. Nilai sempurna kudapatkan. Hanya satu kurangku saat itu, aku duduk bersebelahan dengan si Nur yang merupakan jawara kelasku.
Kau pasti bisa menebak cerita apa yang selanjutnya terjadi.
"Oke, semua boleh pulang kecuali kamu", sang lele langsung menunjukku bagai dia menemukan mangsa besar yang siap dilahap dan menjadi persediaan makannya sepanjang musim dingin.
"Kenapa kamu nyontek Nur di Ulangan hari ini?", Hardik Si lele kepadaku selepas ruang kelas itu kosong.
Matilah, sudah jatuh tertimpa tangga, diinjak injak pula, kesialan pagi ini dilengkapi oleh dugaan tanpa sebab yang menuduhku menyontek semua pekerjaan si Nur.
Aku cuma terdiam, mencoba untuk menatap dua kumis itu yang malah membuatku cekikikan kecil.
"kamu ini salah, malah ketawa!", terlihat kumisnya naik ke atas yang menunjukkan moodnya yang hancur pagi ini.
Aku tetap diam tak menjawab, aku marah, kesal tapi tak bisa mengungkapkan semua.
"Pak saya kerjain semuanya sendiri kok tadi", jawabku dengan tegas, cukup keras mengingat aku berusia 8 tahun.
"Kamu jangan bohong, kemarin kamu hantam itu anaknya Pak Toyib, sekarang kamu berani nyontek ulangan", Gertak Pak Lele mencoba menggiringku ke peristiwa dua minggu lalu.
-------------------------------------------------------------------------------------------
"Hey, kamu itu juga telat pagi ini, kenapa ga ikut keluar sama aku ke UKS", bentakku ke si kuncung.
"Aku ga telat kok, kamu aja weee", jawabnya yang malah membuatku semakin kesal dan marah
"Plaaaaaakkk....Gedebuk...", suara tamparan dan hantaman langsung muncul.
Namanya kuncung, sebut saja begitu karena mukanya menjengkelkan dan dia anak salah seorang guru di sekolah itu. Hobinya tak jauh beda dengan aku, datang terlambat.
yang membedakan success ratio dia tidur di UKS sepanjang pagi hanya dibawah 5%. Terpaut 15% dibawahku, padahal secara theoritis jumlahnya sama dngan aku.
-----------------------------------------------------------------------------------------
"Iya pak, maaf, saya salah deh", jawabku setelah terbangun dari lamunan singkat yang kucoba untuk mengigat peristiwa dua minggu lalu.
"Bersihkan kelas ini, baru kamu boleh pulang!" Perintah si Lele sembari menyodorkan sapu kepadaku.
Aku mengangguk dan hanya membiarkan lele itu pergi untuk segera enyah dari hadapanku.
Dan tentunya sampai besok pagi aku tak akan lakukan apa yang dia minta kepadaku.
-----------------------------------------------------------------------------------------
"Mohon maaf Pak, anak bapak harus dipindah ke Kelas B karena ini", sambil menunjukkan tulisan kepribadian di raport.
"Sepertinya ananda harus memperbaiki sikapnya jika dia ingin menjadi seseorang yang berguna", lanjutnya menambahkan.
"Maaf pak sudah merepotkan bapak selama ini", timpal bapakku seketika.
------------------------------------------------------------------------------------------
Aku terbangun, subuh pagi ini, jauh dari bapak dan ibu, di kamar 3*3 meter yang tak ubahnya Kapal Van Der Wijk yang diterjang ombak hebat.
Rapot SD ku masih ditanganku tepat ketika aku bangun. Tergelitik tawaku melihat tulisan merah berbaca "Kepribadian C naik kelas dengan syarat pindah ke kelas B"
Wiliam Shakespeare bilang bahwa be not afraid of greatness. Some are born great, some achieve greatness, and others have greatness thrust upon them.
Terdiam kucoba kuberanikan diri, meraih bintang terbaik, membalikkan semua prediksi yang lele itu pernah sampaikan depan bapakku, akan kubuktikan, andromeda pun akan kutaklukkan jika semesta mendukung.....