Kamis, 15 September 2011

Standing Applause Pertamaku

Pertama kali denger tuh suara, kira2 7 tahun lalu, pas kelas 1 di SMA Negeri 1 Surakarta. Yaah, malam itu saya bersama sahabat saya, si kebo, "terpaksa" nonton acara salah satu ekstrakulikuler dari SMANSA. saya merasa "terpaksa" nonton Teater kalau gak dia yang paksa.

Sekarang, setelah 7 tahun waktu berjalan, semua terasa sedikit unik, berubah 180 derajat, sudah 4 tahun meninggalkan bangku SMA, tiba-tiba tiap tahun saya relain waktu buat dateng ke Diklat (pendidikan latihan) teater kosong SMANSA, untuk sekedar menyemangati para adek2, mungkin malah lebih sering dibandingkan "Anggota resmi" Teater Kosong sendiri.
Hehehe...

Semua berawal ketika sahabat saya, Kenanga Arum Pramesti, dengan memohon dia menemui saya dan Andy Putra mahardika, saat itu kami berdua diminta untuk melengkapi pemain dalam pentas tahunan Kosong, judulnya NAPI, naskah karya Hajat Sarwaka.

Awalnya kami berdua (saya dan PM, panggilan akrab Andy) hanya berperan sebagai "pelengkap", dan bisa dibilang hanya sebagai "Figuran", kami hanya bermain sekitar 3 menit, itupun kami ada, gara2 Teater ga mau dicap gak punya anggota pria, akhirnya kami pun main. Parahnya kami pun latihan ogah-ogahan setengah mati, sampai pelatih saat itu, mas Didik sempet marah dan mengadu kepada bu Wewah dan Kenanga, tak sampai hati kami melihat kenanga yang sebegitunya memohon, dan bu wewah yang hampir menangis, kami pun meng iyakan mereka, dan akhirnya, saya masih ingat malam itu.

22 April 2006, itulah pertama kalinya saya merasa menjadi bagian dari sebuah kelompok bernama Teater Kosong, Aula penuh sesak, walau hanya 3 menit, itulah kebanggaan yang belum pernah saya dapatkan selama saya bersekolah, sejak SD, SMP, maupun saat itu, SMA kelas 2.

Yang saya ingat malam itu, cuma tepuk tangan yang meriah, sambutan yang luar biasa dari teman2 saya, dan tentunya si bocah yang merias saya malam itu. Hwehehe..

Iya sih, saya akui, memang sebenarnya disamping karena Kenanga dan Bu wewah, ada sosok lain yang membuat saya jatuh Cinta kepada Teater Kosong, agak pathetic memang, tapi itulah realita, back to the topic.

Saat itu kalau tidak salah bulan Juli 2006, saya dan PM diundang untuk hadir lagi di di Latihan Teater, dan yang mengundang tidak main2, langsung mas didik, Pelatih Kosong saat itu. Saat mengungkapkan maksud beliau mengundang kami, kami cuma bisa saling bertukar pandang, saat itu kami berdua sudah memasuki masa akhir di Sekolah, sudah kelas 3 SMA, dan kami diminta untuk membantu Teater Kosong untuk mengikuti Festival Temu Teater Pelajar 2006.

Jujur, itu kompetisi pertama saya, sejak saya masuk SMP 1 dan SMA 1. Antara iya dan tidak, PM sempat bilang tidak, bukan karena apa-apa, tapi kami berdua akan menjadi tokoh sentral dari kompetisi tersebut. Dengan judul yang sama, Napi, yang mulanya kami hanya menjadi figuran, kami diminta untuk menjadi 2 tokoh utama di pentas tersebut, saya menjadi sipir, dan PM menjadi Napi. Kalau dihitung, dari hampir 1.5 jam pementasan, 1 jam adalah dialog kami berdua. Selain itu, resiko terbesar kami, kami bakal kesulitan dalam belajar, ingat, kami sudah berstatus sebagai siswa kelas 3. Kami butuh waktu lebih untuk belajar, tapi kami harus memutuskan iya atau tidak untuk ikut dalam lomba tersebut.

Tidak tau mengapa, akhirnya kami pun meng iyakan untuk ikut terjun lagi dalam dunia teater ini, dengan konskuensi, waktu kami berdua untuk belajar menjadi lebih berkurang, pulang malam, dimarahi orang tua, dimarahi pak Bobi (Botak biadab, tebak siapa dia?), banyak cerita di dalamnya.

ngomong-ngomong masalah cerita, dalam pentas kali ini pun, kami sempet dipusingkan gara2 kasus beberapa pemain yang kesurupan, terancam gagal gara2 saya dan PM yang dikecam untuk ikut tampil sama si bobi, sempet ga dibolehin ijin untuk ikut lomba, sungguh benar2 proses yang melelahkan.

But, show must go on, kami pun tampil dihadapan para penonton, saat itu, saya dan PM berkomitmen akan All out, kebanggaan tersendiri buat saya, ketika saya keluar di panggung Teater arena, saya melihat ibu saya cintai, duduk di baris terdepan, menyaksikan anaknya berkompetisi,
kejadian lucu juga terjadi di pementasan itu, saat memasuki adegan antara, sipir, kepala penjara, dan Napi, (Kepala Penjara diperankan oleh Sekaringtyas), tiba tiba kami bertiga terdiam, sekitar 30 detik, hening, dan tau kenapa? KAMI LUPA NASKAH, untung saja PM langsung menghajar habis naskah, kalau bukan karena dia, mungkin itu akan sungguh memalukan dan mencoreng nama SMA N 1. Hahaha...
Dan akhirnya pentas usai, dan penonton termasuk ibuku berdiri dan memberikan tepuk tangan, standing applause pertama di sepanjang hidupku, sungguh, itulah kenikmatan yang jauh melebihi apapun. Cuma bisa menangis bahagia mengingat saat itu.

Menurut saya, penghargaan sebagai pemeran pria terbaik itu hanya sebagai bonus, toh pialanya jg ga nangkring di kamar saya, tapi nangkring di etalase kumpulan2 Piala di SMANSA, itupun tertutupi dengan lomba2 Matematika, Fisika, dsb.

Buat saya, kebanggaan terbesar adalah bisa mendapatkan standing applause dari para penonton saat itu, dan terutama senyuman bangga dari ibu saya tercinta. :)

Saat itu pun saya sadar, Imagination more Important than knowledge, seperti kata Kenanga, saat pertama dia ajak saya ikut pentas :)

Ingatlah teman, percuma kalian belajar di level tertinggi namun kalian tak memiliki imajinasi yang kuat, otak butuh keseimbangan, antara otak kanan dan kiri, nilai rapot, nilai ulangan, atau ijazah, semua itu bukan jaminan kalian, yang menjadi jaminan adalah, keberanian kalian mengambil semua resiko-resiko itu, Tuhan bersama manusia pemberani pengambil resiko.

PS. Thank you for my dearest best friend, Kenanga Arum Pramesthi, May Allah always blesses all the way you take. And Bu Wewah, you are my second mom :)