Selasa, 21 Februari 2017

Menuju Andromeda....

"Kriiiiiing...." Bunyi alarm jam itu menyeruak pagiku yang masih sendu.
Rumah kami tak begitu besar, 6*8 meter, tak ada batas antara ruang makan, ruang keluarga dan ruang tv. Sampai ibu ku pun pusing bagaimana meletakkan berbagai macam sarapan yang sudah dia buat pagi itu untuk dua anak laki-lakinya, suami, dan adek perempuan (dibaca: tanteku) yang kebetulan tinggal juga disana.

Berjalan gontai aku mengambil handuk dan perlengkapan mandiku menuju kamar mandi, 06.30 pagi itu, dan semuanya terasa normal padahal ada bahaya yang sebenarnya mengincar diriku.

Tak kurang sudah sejak aku di taman kanak kanak aku pindah ke Rumah ini, Rumah dinas untuk kepala cabang dari perusahaan percetakan buku terkemuka di kota solo. Agak bingung kalau disebut rumah dinas, ini lebih bisa disebut laiknya wisma, bahkan wisma lebih baik. Tapi kami bersyukur tidak harus membayar kontrakan rumah yang biayanya sendiri lebih baik dialokasikan untuk study plan ku dan adikku.

Di belakang rumah kami tinggal beberapa sales percetakan yang memang disiapkan untuk tinggal disana, rata rata mereka tinggal di kamar 2*3 meter setiap orang nya, cukup sempit namun nyaman bagi sales sales yang siap melacurkan bisa mulutnya untuk berjualan buku dari satu sekolah ke sekolah lainnya. Mereka bahagia, itu yang harus kita akui disana.

"Ayolaah naaak, sudah jam 7 ini, kamu mau sekolah enggak sih sebenernya?", teriak bapakku membuyarkan nasi sarden dengan karak (nasi yang dikeringkan lalu digoreng) ditanganku.

bergegas aku ambil tas berteriak minta diantar oleh bapak, "AYOOO PAAK!", teriakku dengan lantang.

"Matilah aku...", gumamku dalam hati sesampai aku di sekolah.

Celaka dua belas, pintu gerbang besar itu ditutup, bapakku memohon security sekolah untuk membukakannya.

"Besok jangan telat lagi ya pak", ujar bapak 40tahunan yang sudah sejak lama bekerja sebagai petugas keamanan merangkap sebagai tukang kebon dan penjual jajanan siang di sekolah.

Terdengar nafas bapakku terengah mengantarku sampai depan sekolah. Jalanan cukup macet pagi itu, di Kota Solo tepat sebelum reformasi Soeharto bergulir.

"Udah pak, sampai sini aja aku jalan sendiri", pintaku ke bapak agar bapak tidak melihat scene selanjutnya di pagi ku di sekolah.

Bapak mengiyakan dan kembali menhidupkan motornya untuk kembali bekerja.

--------------------------------------------------------------------------------------------------

10 tahun yang lalu, di kota yang bisa dibilang salah satu janin dari pulau jawa karena berbagai peristiwa penting baik perjuangan maupun pemberontakan terjadi disini. Walau itu tak ada hubungannya dengan cerita ini, namun cukup bisa di cocoklogikan dengan apa yang terjadi menimpaku.

--------------------------------------------------------------------------------------------------

Masih sama seperti biasanya, pintu sudah tertutup. Kulihat jam sudah lewat 15 menit dari peraturan tertulis yang ada di sekolah tua itu.

Sialnya, pintu terbuka dan kulihat pria berusia sepantaran bapak sudah memicingkan dahinya, dia letakkan tangan kanan di saku kanannya, dan tangan kiri memegang penggaris kayu legendaris dengan panjang 1 meter dengan hebatnya.

"Apa yang kamu mau sekarang?", teriak pria itu kepadaku.

Dia sebenarnya tidak terlihat begitu keras, lebih lucu dengan dua kumis lele yang dia miliki. Kadang tingkah konyolku adalah membayangkan kedua kumis lele itu bergerak keatas dan kebawah menunjukkan mood yang dia punya. Aku membayangkan kumis itu akan bergerak keatas jika mood nya sudah memburuk, dan sebaliknya sang lele akan menurunkan kumisnya kebawah jika moodnya membaik.

"Maaf pak, saya salah" Jawabku dengan mencoba lirih. Aku tau ini sudah telatku yang kedua di minggu ini, dan ke enam di caturwulan ini. Hebatnya aku sudah menghabiskan 20% waktuku diluar kelas hanya karena setiap scene ini berujung aku harus tinggal di luar sampai istirahat pertama selesai.

Naas, cerita itu tidak berubah. 09.00 bel itu berbunyi dan total 2 jam aku habiskan dengan tidur di UKS (Unit Kesehatan Sekolah). Sang lele berhasil membuatku tunduk setidaknya di caturwulan ini.

Aku berjalan tanpa sapa, usiaku sekitar 8 tahun saat itu, dan menurutku itu cukup menyakitkan. Tapi untungnya aku belum tau beda disakiti dan diperhatikan saat itu.

Kursi tinggal satu karena saat itu satu kelas hanya 40 orang, ada 20 meja yang mengakomodir 20 pasang siswa/wi di ruangan itu. Bagai jatuh tertimpa tangga, satu kursi sisa itu tepat didepan sang lele. Cuma bisa kugaruk kepalaku mengingat begitu indahnya pagiku itu.

-------------------------------------------------------------------------------------------

"Buka LKS halaman 58 dan mulai kerjakan pelatihan 3 untuk ulangan kita siang ini sebelum pulang". Perintah sang lele sebelum dia mengakhiri kelasnya hari itu.

Senyum lebar muncul ketika kunci jawaban disampaikan selepas ulangan berlangsung. Nilai sempurna kudapatkan. Hanya satu kurangku saat itu, aku duduk bersebelahan dengan si Nur yang merupakan jawara kelasku.

Kau pasti bisa menebak cerita apa yang selanjutnya terjadi.

"Oke, semua boleh pulang kecuali kamu", sang lele langsung menunjukku bagai dia menemukan mangsa besar yang siap dilahap dan menjadi persediaan makannya sepanjang musim dingin.

"Kenapa kamu nyontek Nur di Ulangan hari ini?", Hardik Si lele kepadaku selepas ruang kelas itu kosong.

Matilah, sudah jatuh tertimpa tangga, diinjak injak pula, kesialan pagi ini dilengkapi oleh dugaan tanpa sebab yang menuduhku menyontek semua pekerjaan si Nur.

Aku cuma terdiam, mencoba untuk menatap dua kumis itu yang malah membuatku cekikikan kecil.

"kamu ini salah, malah ketawa!", terlihat kumisnya naik ke atas yang menunjukkan moodnya yang hancur pagi ini.

Aku tetap diam tak menjawab, aku marah, kesal tapi tak bisa mengungkapkan semua.

"Pak saya kerjain semuanya sendiri kok tadi", jawabku dengan tegas, cukup keras mengingat aku berusia 8 tahun.

"Kamu jangan bohong, kemarin kamu hantam itu anaknya Pak Toyib, sekarang kamu berani nyontek ulangan", Gertak Pak Lele mencoba menggiringku ke peristiwa dua minggu lalu.

-------------------------------------------------------------------------------------------

"Hey, kamu itu juga telat pagi ini, kenapa ga ikut keluar sama aku ke UKS", bentakku ke si kuncung.

"Aku ga telat kok, kamu aja weee", jawabnya yang malah membuatku semakin kesal dan marah

"Plaaaaaakkk....Gedebuk...", suara tamparan dan hantaman langsung muncul.

Namanya kuncung, sebut saja begitu karena mukanya menjengkelkan dan dia anak salah seorang guru di sekolah itu. Hobinya tak jauh beda dengan aku, datang terlambat.

yang membedakan success ratio dia tidur di UKS sepanjang pagi hanya dibawah 5%. Terpaut 15% dibawahku, padahal secara theoritis jumlahnya sama dngan aku.

-----------------------------------------------------------------------------------------

"Iya pak, maaf, saya salah deh", jawabku setelah terbangun dari lamunan singkat yang kucoba untuk mengigat peristiwa dua minggu lalu.

"Bersihkan kelas ini, baru kamu boleh pulang!" Perintah si Lele sembari menyodorkan sapu kepadaku.

Aku mengangguk dan hanya membiarkan lele itu pergi untuk segera enyah dari hadapanku.

Dan tentunya sampai besok pagi aku tak akan lakukan apa yang dia minta kepadaku.

-----------------------------------------------------------------------------------------

"Mohon maaf Pak, anak bapak harus dipindah ke Kelas B karena ini", sambil menunjukkan tulisan kepribadian di raport.

"Sepertinya ananda harus memperbaiki sikapnya jika dia ingin menjadi seseorang yang berguna", lanjutnya menambahkan.

"Maaf pak sudah merepotkan bapak selama ini", timpal bapakku seketika.

------------------------------------------------------------------------------------------

Aku terbangun, subuh pagi ini, jauh dari bapak dan ibu, di kamar 3*3 meter yang tak ubahnya Kapal Van Der Wijk yang diterjang ombak hebat.

Rapot SD ku masih ditanganku tepat ketika aku bangun. Tergelitik tawaku melihat tulisan merah berbaca "Kepribadian C naik kelas dengan syarat pindah ke kelas B"

Wiliam Shakespeare bilang bahwa be not afraid of greatness. Some are born great, some achieve greatness, and others have greatness thrust upon them.

Terdiam kucoba kuberanikan diri, meraih bintang terbaik, membalikkan semua prediksi yang lele itu pernah sampaikan depan bapakku, akan kubuktikan, andromeda pun akan kutaklukkan jika semesta mendukung.....





Senin, 20 Februari 2017

Kembali Membumi....

Rambutku habis kali ini, tingal beberapa mili tersisa karena perintah sialan itu, hanya bisa menggerutu mengingat ini permintaan dari para bedebah yang mengatakan dirinya kakak tingkat yang harus dihormati. Aku mengerti ini adalah salah satu hal yang harus dipenuhi jika ingin menjadi seorang Insinyur, mental yang dua kali lebih besar, nyali yang lebih berani daripada singa, tapi kukira mereka kali ini berlebihan, tak ada singa yang memakai kaos kaki yang berbeda di kedua sisinya.

Sudah pukul 6 pagi itu, kota seribu universitas dibilangnya, kota pelajar. Jarak antara kos dengan kampus tak kurang 3 kilometer dengan syarat tak boleh membawa kendaraan, salah satu bentuk pengejawantahan dari istilah penyiksaan dimulai.

"Woii Lari Anjing...Woiii Cowok jalan kayak bancii..." Teriakan jelas muncul dari sana sini mengoyak pagi yang cukup dingin ketika perut masih kosong dan hanya berisikan nasi telor 3 ribu perak hasil karya warga Kuningan yang merantau di Jogjakarta.

Ini yang menarik, Jogjakarta ini malah lebih Sunda ketika sudah disekitaran kampus kampusnya, berjejer Warung Burjo (Bubur Kacang Ijo) laiknya Alfamart vs Indomaret dimana mana. Dan lucunya jualan utamanya bukanlah burjo melainkan mie instant, sesuatu yang jauh dari kata sehat namun nyaman di kantong bagi kami mahasiswa. 

Sekitar 200 orang dikumpulkan pagi itu di pelataran jurusan, di kampus yang bisa dibilang bukan termasuk yang terbaik di bidangnya, tapi penghasil singa singa yang siap bertarung dengan siapa pun yang berani melawan.

Ada anekdot bahwa kampus kami hanya diciptakan untuk warga industri kelas dua, awalnya aku percaya, namun seiring aku belajar dan lulus dari tempat ini, aku percaya bahwa kami tumbuh menjadi warga kelas satu, setidaknya di hal nyali dalam menerima semua pekerjaan.

"Rapatkan barisaan, samakan tinggi", teriak seorang yang nafasnya sudah bak kamar mandi yang sudah tak dikuras selama bertahun tahun.
Kawan, kau tau bau bak mandi yang tak dikuras kan? itulah rasanya jika kau harus berdiri di tengah lapang dan mendapat cacian dan perintah dari kakak tingkat yang memberlakukan syarat bahwa senior selalu benar. Bau mulut yang tak jelas dan ludah yang lari kemana mana. Satu yang susah kulakukan, perintah samakan tinggi -_-"

Satu hari berlalu, dua hari berlalu, aku masih berdiri tegak di depan mereka semua, satu yang menyeramkan, senior wanita!

Ketahuilah kawan, hal yang paling mengerikan di dunia ini adalah ketika melihat seorang wanita yang mengamuk, ibarat gunung krakatau yang letusannya bisa sampai terdengar ke Amerika, aku lebih memilih menunduk ketika salah seorang senior wanita membentakku. Sudah cukup aku kena bentak ibu di Rumah, sekarang masih harus dengar ibu ibu cerewet ini menghabisiku dengan kata kata rasisnya.

Ada satu cerita lucu ketika saya tak hadir di salah satu acara yang diadakan oleh pihak Himpunan kampus, bagi kami yang tak hadir saat itu diwajibkan untuk datang di salah satu kontrakan dari senior kami. Baju kami dilepas, dan kami diminta berbaris dan menyampaikan alasan kenapa kami tidak datang. Salah satu senior menghampiriku.

"Kamu ikut fitness ya?" seorang kakak pembina cantik bertanya sambil mendorong dadaku.

"Tuhaaan, aku lebih milih tiap hari ga ikut kumpul kalo ketemunya kek ginian", gumamku dalam hati sambil nelen ludah ngliat body kakak senior itu.

Aku masih berusia 18 tahun saat itu, baru lulus SMA, perjaka dan ditanya Ikut Fitness ato enggak. Serasa badan ini terbang dan lupa dengan berat badanku sekarang.

--------------------------------------------------------------------------------------------------

Aku bukan lahir di keluarga yang keras walau ibu bisa dibilang adalah ibu yang tak pernah berbicara kurang dari 5 menit setiap memarahiku. Frekuensi bapak mengayunkan sapunya untuk membangunkanku untuk sholat subuh pun bisa dibilang cuma sekali sehari. Jadi bisa disimpulkan betapa indahnya masa kecilku kan?

Walaupun begitu aku tak begitu terbiasa kena tegor tiap hari, mending disikat bapak tiap pagi dibanding ngliat senior senior ini tiap hari.

Satu keinginanku saat itu, "Aku harus keluar dari neraka ini..."

---------------------------------------------------------------------------------------------------

Harganya masih sama dengan tahun lalu, satu lembar formulir rangkap 3 yang berisi beberapa biodata dan pilihan jurusan yang akan diambil, kuambil satu dan aku balik pulang ke solo malam itu.

---------------------------------------------------------------------------------------------------

"Nanti malam bapak jemput terus temenin bapak ambil mobil ya", kulihat handphone ku bergetar, SMS dari bapak.

Bapak hanyalah seorang karyawan buangan dari salah satu perusahaan percetakan bonafide di kota solo (tebak aja namanya). Iya, dia dibuang setelah dipindahkan ke kantor pusat dan diposisikan sebagai HRD. Seseorang yang menghabiskan hidupnya sebagai Kepala Cabang Sales tiba tiba dipindahkan ke kantor pusat dengan embel embel promosi, namun sebenarnya diumpankan ke mulut buaya.

Beberapa karyawan bermasalah yang cukup dekat dengan bos kebetulan berurusan dengan bapak, itulah yang kubenci dari sistem korporasi, se profesional apapun mereka mengaku, kalo sudah urusan perut, para penjilat akan mucul dimana mana, celakanya aku sekarang hidup di sistem yang tak mengenakkan ini.

Bapak difitnah dan beberapa pihak memaksa bapak mengambil pensiun dini, tak ayal itulah satu satunya pilihan yang dimilikinya, keluar atau tetap bertahan di ketidakadilan.

Bapak keluar dan menghidupi kedua anaknya dengan berjualan mobil. Satu yang aku selalu idamkan dari bapak, beliau bukan tipe orang yang gampang menyerah. Beberapa waktu kemudian beliau juga menerima tawaran untuk ikut membangun perusahaan percetakan sendiri dengan gaji yang tak ada nilainya (dalam makna sebenarnya). Bapak beralasan jiwanya disana, itu pelajaran pertama yang aku ambil dari bapak "Cintai pekerjaanmu, jangan cintai perusahaanmu"

-----------------------------------------------------------------------------------------------------

Aku duduk sendiri di peron stasiun tua kota itu, stasiun yang mungkin usianya lebih tua dari sejarah negara ini. Duduk termenung mengingat pesan salah satu guruku ketika kutelpon.

"Mas, masak alumni SMA kita masuk ke Univ Swasta", ucap guru geografiku yang menanggapi proposalku untuk sharing profil kampusku. Cukup menyakitkan namun itulah salah satu fakta yang hanya bisa aku iyakan dari dosenku. 

Kereta itu datang tepat waktu, se tepat apa yang guruku sampaikan kepadaku.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------

Bapak sudah siap di depan, aku kali ini mencoba berbakti walau hatiku sebenarnya ingin berontak dan protes atas apa yang sudah aku alami hampir setaun ini.

Tapi aku hanya bisa diam.

"Nanti kamu bawa pulang motornya yah", perintah bapakku tanpa aku mengiyakan.

Setiap aku berbincang dengan bapakku, aku selalu ingat dosa yang pernah aku lakukan ketika aku tak kerjakan soal ujian masuk STAN ketika awal tahun aku berjuang.

----------------------------------------------------------------------------------------------------

"Silahkan masuk Pak, dik, mohon maaf rumahnya berantakan", seorang ibu setengah baya mempersilahkan aku dan bapak memasuki rumahnya. Tidak begitu besar, namun nyaman.

Bapakku dan ibu itu menyelesaikan jual belinya, sebuah mobil Aminity tua yang ingin dia jual karena anaknya dari Riau mengirimkan mobil yang baru.

"Alhamdulillah mas, anak saya masih sayang sama bapak ibunya", celetuk ibu itu.

"Yang saya mau cuma biar anak saya bahagia kok mas, saya masih sayang sebenarnya sama mobil ini, tapi mau bagaimana, anak saya memaksa", ibu itu menambahkan.

Bukan raut sombong, tapi raut kehilangan cintanya di mobil itu, tapi kecintaan ibu itu terhadap kebahagian anaknya jauh mengalahkan cintanya ibu itu ke mobilnya.

"Anak saya pengen saya bahagia, karena kalo saya bahagia, dia akan bahagia mas, dan dia bilang ini mungkin salah satu cara dia mengabdi kepada saya, membahagiakan saya". Seloroh ibu itu.

"Wah kerja dimana bu anaknya?", tanya bapak ke ibu itu

"Caltex mas di Riau", Jawab ibu itu yang aku yang dari tadi terdiam, termenung mencari arti kata membahagiakan orang tua.

Malam ini menjadi malam yang nanti menentukan langkahku, yang secara ajaib menuntunku ke jalan berliku namun pasti akan membawaku ke titik tertinggi nantinya.

-----------------------------------------------------------------------------------------

Pagi ini hari terakhir mengembalikan formulir 3 rangkap itu, sudah terisi semua, pilihan 1 Fakultas Kedokteran, dan didepan kampus itu aku hanya terdiam, pikiranku terisi penuh ucapan ibu tua itu.
"Bapak Ibu ku apa pernah sebahagia dia? Bagaimana aku membahagiakannya?" pikirku.

Saat ini aku kalah akan egoku, mundur dan mencoba mencari tau lebih dalam dari apa yang sebenarnya aku impikan, tujuh langit sudah aku lewati, aku harus tetap membumi.

Pertanyaanku? Apakah aku gagal meraih mimpiku?