Minggu, 17 Januari 2016

Tujuh lapis langit (2)

Bapak lahir dari keluarga yang bisa dibilang kurang beruntung, jangankan keliling luar negeri, mau sekolah saja, susahnya minta ampun buat dapet ijin dan duit dari orang tuanya.

Ada cerita menarik ketika bapak lepas lulus dari Sekolah Dasar, seorang pembesar di desa menghampiri keluarga bapak untuk bersilaturahmi, "Nak, kamu mau sekolah di Jakarta?" Tanya orang paruh baya itu ke anak yang bisa dibilang baru lepas baligh.

Iya, bapak dijanjikan untuk melanjutkan sekolah SMP di ibukota, bapak belum mengerti bahwa saat itu ibu kota sudah menjadi lebih jahat daripada ibu tiri. Dengan janji yang cukup menggiurkan, uang saku, sekolah, dan angan untuk menjadi orang sukses, bapak sukses dibawa merantau ke jakarta. Bayangkan, pipis aja belum lurus, ini anak udah berani beraninya merantau ke Jakarta hanya karena dijanjikan sekolah. Demi satu hal, mengubah nasib.

Naas dia, 6 bulan di ibu kota, tak kunjung bapak didaftarkan ke sekolah, tambah malang, seharinya dia diminta jaga kandang ayam dan mengurus rumah. Tragis memang, anak berusia tak lebih dari usia balighnya, jauh dari orang tua, hanga dipekerjakan tak tau aralnya.

Bapak memutuskan kabur setelah berbulan bulan dia tak lekas disekolahkan, entah naluri macam apa yang menggelayutinya, dia akhirnya memutuskan naik bus, sendirian pulang kemana dia seharusnya dia untuk pulang.

Kawan, kalau kau tanya aku, apa aku percaya dengan kisah drama tak berkelas dari bapakku ini? Jujur, berat untuk mempercayainya. tapi apa daya, memang ini yang terjadi pada dirinya. Sempat aku bertanya kepada beliau, apakah orang yang menipu dia masih hidup? Beliau menjawab masih, dan konon katanya dia sudah minta maaf kepada bapak atas perbuatan bodohnyaa dulu.

Bapakku anak kelima dari 6 bersaudara, satu satunya sarjana di keeluarga bapak. Itupun setelah dia memaksa dengan berjalan kaki sejauh 30 km dari rumah ke sekolahnya, salah satu SMA swasta favorit di solo. Dengan merengek dia minta kepada kepala sekolah agar datang ke orang tuanya, dan meminta restu untuk sekolah di Solo. Beberapa malam menimbang, akhirnya diijinkan. Tinggal di kamar tak ubahnya gudang, bapak nyambi sebagai merbot (baca: penjaga masjid) di sekitaran keraton kasunanan solo.

Mungkin jika diminta membandingkan dengan diriku sekarang, tak ada apa apanya dibanding semangat bapak yang ingin mengubah satu hal dalam dirinya, nasib.

Bapak bukan pegawai negeri, beliau hanya buruh lepas yang bekerja di salah satu percetakan yang dimiliki saudagar pacitan yang membuka toko di Solo.

Mengawali karir sebagai salesman, menjual buku dari sekolah satu ke sekolah yang lain, sampai beliau dipercaya memimpin salah satu cabang di Magelang, dan akhirnya kembali di solo.

Bukan bapak ga mau buat jadi pegawai negeri, tapi dasar nasib memang tak berpihak padanya, dia selalu gagal tes disana. Sampai 5 atau 6 kali bapak mencoba peruntungan untuk menjadi tenaga negeri, sayang gagal selalu gagal. Karena itu dia bermimpi anak anaknya bisa meneruskan cita citanya untuk jadi pegawai negeri sipil.

Bapak sering, bahkan terlampau sering mencuci otak anaknya untuk punya keinginan berkuliah di salah satu perguruan tinggi kedinasan yang sudah pasti arah kerjanya. Sudah gratis, pasti dapat kerja, pegawai negeri pula. Itulah yang selalu didengungkan bapak daripada menyemangati anaknya untuk menjadi dokter.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sebelum subuh rumah kami sudah sibuk, bapak membersihkan mobil dan terlihat mengecek kesiapan mobilnya.

Ibu sudah lebih sibuk dibanding kami, bisa dibilang beliau yang paling rajin diantara kami sekeluarga. Bagaimana tidak, disaat ibu ibu rumah tangga antri untuk beli sarapan di warung warung setiap pagi, ibu memilih untuk bangun lebih pagi dan mempersiapkan segala sesuatu untuk suami dan anak anaknya. Hal itu sudah dilakukannya sejak pertama kali menjadi suami bapakku. Konsistensi yang luar biasa, wanita karir yang merangkap ibu rumah tangga.

Adekku terlihat bersemangat karena akan menemani kami, sedang aku, masih dengan hampa melangkahkan kaki untuk mandi dan mempersiapkan semua.

Jam 6 kami sudah tiba di Yogyakarta, memang sekolah tinggi akutansi ini adalah sekolah yang favorit karena menjanjikan masa depan yang lebih jelas dibanding sekolah sekolah yang lain.

Status sebagai pegawai negeri sipil sudah setidaknya ditangan jika resmi menjadi mahasiswa sekolah tersebut.

Bisa ditebak, bapak yang paling menunggu nunggu momen ini, anaknya diterima menjadi pegawai negeri sipil. "Akh, itu harapan bapak, bukan aku", gumamku dalam hati mencoba mencari dalil yang menguatkanku untuk tidak mengikuti test hari ini.

Soal dibagikan, kulihat perlahan, terlihat lebih mudah dibanding ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri di Yogyakarta. Aku masih menghela nafas, masih mencoba menghakimi diri, kenapa aku bisa duduk di kursi ini, bersaing dengan puluhan ribu calon mahasiswa di seluruh Indonesia yang memang bercita cita bersekolah disana.

Kuletakkan penaku, aku memilih berbeda jalan dengan bapak,

Mungkin bapak akan membunuhku jika dia tau, aku tak pernah kerjakan soal soal itu...

-----------------------------------------------bersambung----------------------------------------------------

Sabtu, 16 Januari 2016

Tujuh lapis langit (1)

Jaum pendek itu sudah tunjukkan angka 4, sore rupanya, aku bergegas ambil beberapa ribu uang yang ada di meja belajarku dan langsung berteriak depan ibuku, "Buuk, aku ke warnet!" tergopohku meminta ijin dengan berteriak ke ibuku.
Saat itu kami belum mengenal teknologi yang bernama paket data internet, jangankan itu, kami untuk saling berkirim pesan singkat menggunakan SMS saja berfikir beberapa kali kalau lawan komunikasinya berbeda jaringan provider. Itulah jamanku, ketika nomer handphone jauh lebih berharga daripada satu mangkok bakso.

Warnet merupakan salah satu andalan pelajar tempo itu, dengan kapasitas tak ada 1 Mbps di tiap warnet, itu sudah lebih dari cukup jika hanya untuk membuka friendster atau sekedar chat Mirc untuk mencari kenalan. Dengan bermodal "ASL PLS", the world is yours my man.

Tak jauh warnet itu dari rumahku, langsung kucoba situs yang kutuju, lagi lagi belum booming yang namanya searching engine macam google, bing, atau yahoo search. Jika kamu ingin surfing di warnet, setidaknya km harus tau website mana yang akan kamu tuju.

Seketika duniaku gelap, nafas serasa berhenti, namun jantung berdetak 100 kali lebih cepat, berlebihan memang, tapi tak ada lagi kalimat yang lebih lebay untuk bisa ilustrasikan kondisiku sore itu. 

Aku sadar sebenarnya kalau memang aku bukan dari keluarga yang pintar, bapakku lulus dari salah satu perguruan tinggi negeri di kota kelahiranku dengan nilai yang bisa dibilang biasa, pun ibuku yang bisa dibilang masih bisa lulus pun oke punya. Tapi apa yang mereka lakukan untuk membentuk anak anak nya sudah terlampau lebih dari apa yang sudah mereka peroleh saat itu.

Tapi memang, inilah yang dinamakan maksud hati memeluk gunung, tapi apa daya tangan tak sampai. Maksud hati ingin menjadi dokter, apa daya nilai tak sampai. Iya, awak gagal di PMDK untuk jurusan Fakultas Kedokteran di salah satu universitas negeri di Kota Jember.
er
Menangis, hal termudah yang bisa dilakukan oleh manusia ketika mereka kesusahan, dan mereka berharap, dengan menangis, masalah sebesar Gunung Jaya Wijaya pun bisa hilang ketika mereka kesusahan. 

Ibuku bingung melihat polahku yang layaknya seorang gadis yang pulang dan kehilangan kegadisannya, lemas, tak ada semangat hidup, dan mata lembab laiknya lepas tawuran di kampung sebelah. 

"Ngopo to le?" tanya ibuku dengan lirihnya, mencoba memberikan satu pertanyaan yang diharapnya bisa menjawab kegaduhan hatiku saat itu, sayang aku tak mau mengadu, cuma mau mengaduh dan sendiri mencoba meratap kenapa aku lahir sebodoh ini dengan gagal di hal ter remeh yang bernama PMDK.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Bapakku bisa dibilang salah satu yang menyatakan kurang setuju jika anak pertamanya mengambil pendidikan sebagai seorang dokter, bukan apa apa, sudah rahasia umum jika menjadi seorang dokter itu tidak membutuhkan biaya yang sedikit, dan waktu studi yang lama.

Aku pun sebenarnya tak tahu kenapa aku bisa bercita cita menjadi seorang dokter, karena pada dasarnya cita cita seorang anak itu selalu berubah sebanyak 5 kali di setiap waktunya. Ketika dia Pre TK, TK, SD, SMP, dan SMA. Dan bisa dibuktikan dari berbagai survey yang tak bertanggung jawab, setiap anak di Indonesia pasti pernah memimpikan menjadi seorang dokter, polisi, dan presiden. Dan begitu pula dengan aku saat itu, bahkan awak pernah berharap menjadi winspector yang menyelamatkan cewek idola jaman SD, ga pernah nyangka fantasi SD awak dulu seliar itu.

Tak tau karena tak tega atau apa, pagi itu bapakku memutuskan untuk mengantarku dan satu orang temenku untuk ke Semarang, iya Semarang, Sekitar 150 km di barat daya kota solo. 3 Jam kira-kira kalau kita agak sedikit ngebut dengan sepeda motor 125 cc.

Universitas Negeri tsb sebenarnya selalu melakukan tes secara berjamaah dengan universitas lain ketika SPMB dijadwalkan, namun karena ada kebijakan universitas diperbolehkan melakukan ujian mandiri, maka dibukalah untuk pertama kalinya ujian mandiri untuk menseleksi calon mahasiswa baru untuk bisa berkuliah di kampus tersebut.

Semarang cukup menjadi kota yang spesial ketika aku masih bersekolah di SMP, you know lah, tak ada masa sekolah yang indah jika tak dibumbui dengan urusan pertinjaan (dibaca: cinta). 

Saat itu awak cukup ngefans salah satu gadis riang yang selalu senyum setiap waktu, mau makan senyum, jalan senyum, kejedot meja juga senyum. Tapi sayang, namanya orang ngefans, kalo ga bilang kalo ngefans yah ga bakalan orang tau kalo doi lagi ditaksir. Yah, itulah yang terjadi, sang gadis ternyata harus pindah ke Semarang, bagai Alejandro yang mengucap janji setia kepada Marimar, aku bilang kalau aku bakal nungguin dia, dan ga akan pacaran selama SMA, tapi sayang itu kuucap dalam hati doang, ga langsung depan dia. Dan finalnya, doi punya pacar di selama SMA, da Tuhan mengaminkan ucapan dalam hatiku, jomblo selama SMA.

Boi, benar kata nenek, ucapan adalah doa, maka berhati hatilah dengan ucapanmu, walaupun dalam hati alias mbatin hahaha

Itulah kompetisi keduaku dibidang akademik setelah di SD aku "dipaksa" untuk ikut lomba Matematika se kota Solo oleh guru lesku, dengan alibinya ingin membuktikan kalo aku sebenarnya mampu bersaing, dia memaksaku untuk bersaing dengan orang orang Top di masanya.

Duduk di deretan tengah aku berdoa dan mencoba melupakan peristiwa gagalnya PMDK di salah satu universitas negeri di Jember, dan berharap kemujuranku ada saat aku di Semarang ini. 

Ini yang menarik apabila kita mengikuti ujian Mandiri yang dibuka oleh sekolah sekolah negeri, kita diwajibkan mengisi nominal uang gedung yang akan kita bayarkan apabila kita diterima, dan gosipnya nominal ini bisa menjadi pertimbangan apabila nilai kamu kurang. Dan dasar, memang karena watak yang kere tapi bermental baja, awak mengisi form tersebut dengan nominal yang "Cukup".

Hari berganti, lagi lagi dengan bermodalkan beberapa ribu di kantong, selepas maghrib, sekitaran setengah tujuh waktu saat itu, aku kembali ke warnet untuk mencoba mengecek hasil dari ujian mandiri tersebut.

"Maaf anda tidak lulus"

dan semuanya kembali gelap...

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ada pepatah yang bilang, ketika kamu jatuh sekali, berdirilah sekali, jatuh untuk kedua kalinya, berdirilah untuk kedua kalinya, seterusnya sampai kamu bisa berdiri tegap dan berlari...
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Yang ditunggu tiba, anak IPA 1 di sekolahku cukup akrab antara satu dengan yang lain, semuanya dilakukan rame rame, apapun itu, ke kantin kami barengan, nyiulin cewek dari lantai dua, kami barengan, bahkan ke toilet pun bahkan barengan.
Ada pertanyaan sebenere kalo awak jadi guru saat itu, ketika ada yang bilang "Pak, ijin kebelakang", kenapa selalu ada ekor yang ngikuti dari belakang, pengen nyletuk "kenapa ngekor kamu, homo yah?", tapi hmm.. ga tega rasanya menjudge anak bau kencur semacam homo, mungkin memang masanya kalo pipis kebeletnya bisa bareng.
Tapi lucunya, sekarang kalo kerja, ga pernah ada yang ke toilet barengan :))

5 motor saat itu beriringan dari solo menuju Yogyakarta, salah satu kota yang padat akan pelajar pelajar gemes yang minta digemesin. saat itu kami berniat melakukan ujian mandiri yang dibuka oleh salah satu perguruan tinggi negeri di kota gudeg itu. Laiknya semut, ribuan motor memadati kampus yang biru yang berlokasi di bulak sumur.

"Mbah, ini lho mbah kampusku", pintalku ke salah seorang kawanku yang biasa disebut simbah karena sebagian rambutnya berwarna putih karena digigit lebah.
Cukup percaya diri saat itu, yakin bahwa kali ini nasib sudah harus di tanganku.

Kampus yang dipenuhi koas koas cantik sudah didepan mata, melihat calon kakak kakak kelasku yang begitu rupawan, aku terpacu tak sabar menghadapi esok, Ujian Masuk ke Kedokteraan PTN di Yogyakarta.

Pagi hari aku coba persiapkan diri, sial beribu sial, aku tak bisa tidur malam itu, bukan apa apa, aku nervous. Salah satu penyakit orang yang susah sukses adalah nervous. Cukup lama aku di toilet untuk mandi saat itu, penyakitku adalah, mual rasanya kalau kiranya jam tidurku kurang. Keluar semua isi sarapan pagiku yang memang sengaja kulahap sebelum aku mandi. 

Kampus ini cukup besar, bisa dibilang satu kelurahan kira kira kalau kita hitung luas area yang dibutuhkan untuk membangun kampus semegah ini.

Fakultas Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, itulah tempatku untuk melakukan ujian pagi itu, entah memang sial atau alam tak berkehendak saat itu, pagi itu, mendung menggelayuti Jogja. 
Aku duduk tepat didepan pintu besar yang didukung oleh angin yang bertiup dengan kencangnya siang itu.

Perut kosong ditambah badan lemas, di integralkan dengan posisi duduk, di akar kuadratkan dengan angin, semuanya menjadi hancur.

semesta tak bersahabat lagi denganku... 

-------------------------------------------------bersambung---------------------------------------------------------