Dalam 7 hari kedepan, kedua orang tua kami akan berangkat ke tanah suci tunaikan rukun dan melengkapinya dengan sempurna. Malam ini, semua akan terbuka, untuk kami, aku dan satu satunya adik laki lakiku
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Agustus 1972
"Pak, dia janjiin bakal sekolahin aku, di kota besar itu", rajuk seorang anak yang baru tamat sekolah dasar hanya dengan celana menggantung di badan nya.
"hmm..", seputung rokok tanpa filter dihisapnya dengan kuat. Terlihat dia adalah sosok yang kuat, eks tentara pelajar, lengan nya terbiasa dengan cangkul, bibir yang penuh dengan nikotin dan sorot mata yang tidak biasa.
"Aku ga minta apa apa nanti, Pak! Cuma minta bisa sekolah" lebih kuat pinta anak itu kepada pria yang masih berlumur kringat yang sepertinya tak menghiraukannya dengan terus menghisap rokok di tangannya.
Hari itu sore hari pada umumnya, terik cukup menyengat tanpa angin di sekitaran hamparan sawah karena memang rumah kecil itu berada tepat di sekitar persawahan yang tak begitu subur karena kurang nya pengairan disana.
Daerah itu sebenarnya adalah daerah yang cukup dekat dengan sistem irigasi yang dikelola oleh perangkat desa. Namun karena keterbatasan ekonomi warganya yang tak menyanggupi biaya bulanan perawatan sistem imigrasi tsb, daerah itu tidak mendapatkan jatah pengairan dan hanya mengandalkan lebatnya hujan untuk bisa memastikan panen didapat.
"Aku ga punya duit!" hentak pria paruh baya yang tak hentinya sedari tadi menghisap rokok yang cukup populer saat itu.
"Tapi, pak?! Dia janjikan aku semuanya disana, di Jakarta!" Balas anak itu berisikeras meyakinkannya
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Juli 1972
"Di sana nanti sudah ada gedung bertingkat, kereta di tengah kota, mobil lalu lalang, sekolah top dimana saja kamu bisa milih, ndar", rayu seorang pria yang tak tampak dikenal di kalangan warga di sekitar dusun itu
"Memang ada kereta di tengah kota?" tanya seorang anak yang terus terusnya menatap dengan kesima cerita dari pria gemuk berkacamata itu.
"Loh kamu ga tau Jakarta? Jakarta itu kotanya Soeharto, mantap! Jangankan kereta ditengah kota, kamu mau liat bandara di tengah kota juga ada (red: kemayoran airport)" jawab orang itu kembali meyakinkan anak anak yang sedari tadi mendengarkan cerita itu.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Simbok (red: ibu), aku berangkat ya, mohon maaf kalau memang ada salah, mohon maaf sudah menentang apa yang bapak larang, aku cuma mau sekolah", suara lirih terdengar samar sembari isak tangis keluar dari mulut ibu paruh baya itu
Dia anak ke enam dari tujuh bersaudara, anak pertamanya merantau ke pedalaman Bandung untuk berjualan kain. Anak keduanya ngotot bekerja serabutan, dan sisanya terpaksa mengikuti ayahnya menjadi buruh tani lepas di daerah yang barang tentu bisa hujan satu minggu satu kali.
Menjadi buruh tani serabutan bukan hal yang aneh di daerah itu. Lahan dimiliki sebagian orang kaya dan mereka menyewa buruh tani untuk mengerjakan lahan mereka. Tidak cukup memang, tapi dengan bantuan uang gaji pensiunan sebagai tentara pelajar setidaknya masih bisa membeli satu bungkus rokok tiap hari nya walau tak tau anaknya sudah tercukupi tidak saat itu.
Pria paruh baya itu tak menoleh melihat anaknya yang baru saja selesai sekolah dasar berpamitan. Di tangan nya tetap ada rokok dan di sisi tangan lainya menunjukkan memang dia pantas terjun ke medan pertempuran saat itu.
dengan menahan tangis anak itu tetap pergi untuk menggapai impiannya, untuk melanjutkan sekolahnya di ibu kota negeri, Jakarta.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"petok...petok..petok" suara ayam jelas sekali terdengar, bau menyengat khas tai ayam menyerbak tak hanya memenuhi ruangan, tapi juga di seluruh badan seorang anak yang sedari tadi memikul katul (dedak beras) untuk dipindahkan ke dalam gudang storage.
Jakarta memang ibu kota negara, tapi tak bisa dipungkiri, rumah panggung 100 meteran masih terlihat penuh berisi ayam atau bebek yang coba mereka ternakkan di masa itu.
Satu tahun sudah berlalu, 12 bulan besar sudah terlihat di setiap malam kota ibu kota. Tak ada seragam, tidak ada buku, dan tidak ada kereta di tengah kota. Hanya rumah panggung kayu yang berisi ayam yang dilihatnya dalam 12 bulan terakhir.
Dia hanya bisa diam, tak ada serapah yang sanggup dikeluarkan anak 12 tahunan yang hidupnya tak jauh dari tahi ayam.
"Kumpulkan ayam yang sudah 3 bulanan, nanti sore ada orang yang mau ambil", perintah sesorang gemuk berkacamata dengan membawa rokok yang jelas memiliki filter di dalamnya.
Pria itu masih sama, tak berubah suaranya ketika dia menjanjikan sekolah top di ibu kota, ketika dia menceritakan megahnya kereta di tengah kota. tak sedikitpun berubah hanya gelang emas baru di lengan kanan nya, dan satu kancing di bukanya laiknya Cliff Sangra idola para wanita di era nya.
Jelas semua yang dihadapi saat ini bukan seperti apa yang dia pamitkan ke kedua orang tuanya tepat beberapa saat dia masih coba yakinkan bahwa dia akan menjadi orang besar di Jakarta, karena dia akan menuntut ilmu di lingkungan yang berpuluh kali lebih tinggi standard nya dibanding di kamungnya.
Malam dia hanya bisa menangis, ditemani suara ayam yang terus tak berhenti mengganggu dingin nya Jakarta yang saat itu sudah mulai memasuki musim penghujan. "Sudah penuh dengan tai, tak ada matahari yang membuat kering semua kotoran ini", gerutu anak itu sembari menyeka air matanya.
Janji itu tak terpenuhi,
Awal taun 1973
Dengungan shalawat nariyah terdengar jelas dari bilik kamar yang tak ubahnya sebuah bedeng untuk melepas lelahnya. Suara shalawat yang syahdu dan sungguh merindu akan Nabi dan penciptanya samar terdengar bias di telinga dan membuatnya terbangun terlepas dari tangisnya semalam yang sudah berhasil menghancurkan dirinya sehabisnya. Terguntai dia melepas kasur yang menyelimutinya dengan erat untuk bangun, mengambil air wudlu dan mencoba kembali ke kehidupan, bukan kehidupan yang masih cukup suka cita bagi anak seumurnya tentunya.
Tangis kembali hadir seusai dia balikkan kepalanya saat salam di rekaat terakhir subuh itu. Dia tak sanggup, dia hanya ingin sekolah, bukan sebagai buruh ayam yang harus merawat ribuan ayam dan membersihkan kotorannya di ibu kota.
Ibu kota sungguh tak bersama dia saat ini, mimpinya menjadi seorang yang lebih mengerti menjadi ayal mengilang karena semua janji itu tak ubahnya gelembung sabun yang langsung menghilang karena tertiup angin.
"ndar, buruan bangun terus pilihin ayam yang bisa dikirim ke pasar", suara muncul dari luar bilik membuyarkan tangis yang memang tak sesendu malam tadi.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Pasar Minggu orang menyebutnya, tak jauh dari sana ada beberapa pos pengumpul tengkulak ayam untuk nanti disalurkan lagi ke penjual pecel lele di sekitaran Jakarta. Badannya tetap kecil, hitam legam dengan perawakan yang cukup kekar namun bukan karena dilatih di fitness center, ulah penjanji palsu yang meminta dia selalu membawa berkilo kilo dedak makan ayam yang berhasil membuatnya memiliki tubuh yang cukup solid di usia nya.
"aku harus pergi pokoknya", gumam dia dalam hati mencoba menguatkan diri.
Dia belokkan arah lajunya arah yang lebih jauh dari tempat dia melepas lelahnya, kampung rambutan.
"Jogja, Jogja, Solo, Wonogiri...", suara hiruk pikuk tak terelakkan dan penuh dengan panas dan keluh di siang itu.
"ayo mas, ke Solo, kita berangkat sore ini", seorang paruh baya yang sepertinya bukan pegawai resmi mencoba menawarkan tiket kepada anak itu.
"berapa pak kalo saya mau ke solo?", tanya anak itu
"Lima ribu saja, langsung berangkat, dapat makan sekali", jawab calo itu
"Saya cuma ada tiga ribu, pak", jawabnya langsung. "Saya mau pulang pak tak ada lagi uang saya untuk ke solo, sudah ditipu saya", ditimpalnya langsung penuh keyakinan.
"Kenapa kamu? Kamu diculik? badan kayak gitu kok diculik?", jawabnya seolah tak percaya melihat seorang anak dengan badan cukup bagus bilang tak ada uang lagi
"betul pak, saya sudah ditipu di Jakarta, saya mau pulang, saya ga sanggup lagi", terisak anak itu mulai bercerita.
dengan segala hal yang bisa dilakukan untuk meyakinkan suara knalpot dan deru debu di sekitaran terminal kota itu, akhirnya anak itu berhasil mendapat tiket nya.
Dia kembali melihat langit sore itu, tanpa membawa apapun yang dia tinggalkan di Jakarta. Dia mencoba menguatkan sekali lagi, dia hanya ingin bersekolah, dia hanya ingin mengubah nasibnya, dia ingin mencoba membuktikan bahwa dia akan menjadi seseorang. Yang tentunya jauh lebih bermakna dari nasib yang dialaminya.
----------------------------------------------------------------------------
Langit sore ini serupa dengan apa yang dilihatnya 36 tahun lalu, pertama kalinya dia jejakkan kakinya di armada terbesar yang dimiliki Indonesia saat itu, Boeing 747. Sebuah pesawat milik salah satu BUMN yang memang disewa untuk penerbangan ke tanah suci.
dia tersenyum, tak percaya, dan masih penuh kegempitaan di dalam dirinya.
hari ini sama dengan 36 tahun lalu, anak yang berhasil pergi untuk merubah nasibnya saat ini sudah dengan bahagianya bersiap menuju tanah suci.
Deru pesawat ini cukup kencang hingga beberapa rumah di sekitar bandara Adi Sumarmo cukup bergetar ketika akan lepas landas. Dia duduk di jendela, menatap jingga nya awan, dengan kejora senja yang seolah tersenyum kepada nya, senyum yang akan membuat dia bahagia selamanya....