Minggu, 25 Juli 2010
JOB PPS (1)
Joint Operating Body Pertamina-Petrochina Salawati (JOB PPS), Sorong, Papua, Indonesia.
Apabila mendengar salah satu kata dari rangkaian kata itu, mungkin penulis akan sangat teringat memori saat melakukan on job training disana, di salah satu perusahaan yang merupakan jenis perusahaan Joint Operating Body, yang berarti suatu kerja sama antara perusahaan asing dalam hal ini adalah PetroChina, dengan Pertamina, dengan pembagian bagi hasil minyak mentah 50:50.
JOB PPS terletak di suatu pulau di seberang kota sorong di provinsi Papua Barat, di pulau salawati. 3 jam perjalanan laut dari kota Sorong. dan ditambah 4 jam perjalan udara apabila kita bertempat tinggal di pulau jawa. :)
Sungguh, perjalanan yang amat menakjubkan. Benar-benar beruntung mendapatkan pengalaman yang sungguh luar biasa dengan On job Training disana.
Pemandangan alam yang menakjubkan, suasana keramahan dari para rekan-rekan karyawan yang tiada tara, duren yang sungguh nikmat, menu masakan di mess hall yang sama tiap pagi dan sekarang malah bikin kangen, rekan-rekan di production operation (MPA) yang sungguh penuh rasa kekeluargaan (walau sampai kita pun kena janji lautnya), cuaca yang bisa berganti dengan ekstrem, keunikan warga kampung baru, keeksotisan sungai yang begitu indah saat kami mengambil sample air.
Pengalaman tidur di portable camp, kontainer yang diubah sebagai tempat untuk tidur crew, dengan AC nya yang seperti bunyi helikopter. Kamar mandi yang mungkin bila orang biasa melihatnya, akan mau untuk menahan sakitnya perut karena jijik melihat bentuk tempat buang air disana.
Sungguh, unforgotten memories. :)
Total kami (penulis dengan rekan), menyelesaikan On The Job Training kami selama 28 hari terhitung dari 7 April 2010 sampai 5 Mei 2010. Dengan konsentrasi, production engineering for special studies.
Disana kami lebih banyak belajar mengenai sistem produksi yang digunakan untuk memproduksikan fluida hidrokarbon ke permukaan. Yakni sistem produksi pompa benam electric submersible pump atau yang lebih dikenal dengan ESP.
ESP merupakan suatu pompa yang dulunya pada saat perang dunia ke II digunakan untuk memompa air dalam kapasitas yang besar. Melihat kemampuannya yang begitu besar dalam mengambil fluida, maka pompa ESP pun digunakan dalam memproduksi fluida hidrokarbon ke permukaan.
Di JOB PPS, mereka menggunakan jasa dari Powerlift Indonesia sebagai operator dalam penyediaan jasa pompa benam ESP.
Sungguh benar-benar pengalaman yang sangat mengagumkan bisa menginjakkan kaki ke tanah yang menajubkan itu, suatu tempat yang sudah membangkitkan semangat ku untuk bisa berkeliling dunia dengan menjadi PE. :)
terima kasih untuk:
1. Bp. Hari K. Oetomo (res.eng Petrochina indonesia)
2. Bp. Albertus Wahyu (FM JOB PPS)
3. Bp. Boyke Sudarsono (FOS JOB PPS)
4. Bp. Hendriyan dan Bp. Petrus K. (Prod. Supv. JOB PPS)
5. Bp. Zinnun Soulissa (ex. PE )
6. Semua pihak yang membantu kami
Sabtu, 24 Juli 2010
The holeman
Drilling engineering merupakan salah satu aspek pendidikan yang ada di jurusan teknik perminyakan. Merupakan salah satu disiplin ilmu yang menggabungkan antara bermacam-macam ilmu dan berkoherensi menjadi satu tujuan untuk membuat lubang yang nantinya berguna untuk mengalirkan fluida hidrokarbon dari reservoir (tempat terakumulasinya minyak/hidrokarbon) ke permukaan, sehingga dapat diolah dan dimanfaatkan oleh jutaan umat manusia di dunia.
Di dalam suatu sistem pemboran, sangat dibutuhkan kerjasama yang sangat tinggi, keberanian dalam mengambil keputusan, ketelitian, keuletan, serta daya juang yang tinggi. Karena melalui aspek pemboran inilah, akan sangat terlihat, bahwa industri perminyakan sangat membutuhkan suatu teknologi yang sangat canggih, serta membutuhkan dana yang besar. Bayangkan, satu operasi pemboran di darat (onshore), sekurang-kurang nya membutuhkan dana sebesar 5 juta dolar US. atau apabila dirupiahkan sekitar 50 milyar. Jauh lebih besar dibanding anggaran belanja suatu daerah di Indonesia.
Tapi disamping itu, menurut penulis, menjadi seorang drilling engineer merupakan suatu tantangan yang tidak ada matinya. Sangat menakjubkan. Benar-benar memacu adrenalin, bertarung melawan suatu hal yang bernama perut bumi, mencoba mengeluarkan isinya, dengan teknologi yang manusia miliki, dan kita tidak tau bagaimana bahaya yang mengancam dari dalam bumi tersebut.
Ada pepatah yang berbunyi bahwa, Hidup adalah suatu pilihan. Begitu juga dengan masa depan. Bekerja sebagai seorang drilling engineer merupakan suatu hal yang menghasilkan uang melimpah selain tantangan yang menakjubkan dan kesempatan untuk berkeliling dunia, bayangkan saja seorang driller dalam waktu sebulan bisa menghasilkan gaji pokok sebesar $9500/4months. Jumlah seperti itu merupakan suatu nominal yang besar kalo kita lihat. Namun jangan salah, Hal itu sepadan dengan resiko yang musti diambil oleh seorang drilling engineer. Iya, Nyawa tentu saja. Kehilangan waktu bersama keluarga, tidak terlalu bebas dalam menikmati uang hasil jerih payah karena tanggung jawab, dsb.
tentu saja semua kembali ke rekan-rekan semua, hidup adalah pilihan, jika anda menyukai tantangan, silahkan menjadi seorang drilling engineer. :)
Jumat, 16 Juli 2010
The Deepwater Horizon-GOM
You may have heard the news in the last two days about the Deepwater Horizon drilling rig which caught fire, burned for two days, then sank in 5,000 ft of water in the Gulf of Mexico. There are still 11 men missing, and they are not expected to be found.
The rig belongs to Transocean, the world’s biggest offshore drilling contractor. The rig was originally contracted through the year 2013 to BP and was working on BP’s Macondo exploration well when the fire broke out. The rig costs about $500,000 per day to contract.
The full drilling spread, with helicopters and support vessels and other services, will cost closer to $1,000,000 per day to operate in the course of drilling for oil and gas. The rig cost about $350,000,000 to build in 2001 and would cost at least double that to replace today.
The rig represents the cutting edge of drilling technology. It is a floating rig, capable of working in up to 10,000 ft water depth. The rig is not moored; It does not use anchors because it would be too costly and too heavy to suspend this mooring load from the floating structure.
Rather, a triply-redundant computer system uses satellite positioning to control powerful thrusters that keep the rig on station within a few feet of its intended location, at all times. This is called Dynamic Positioning.
The rig had apparently just finished cementing steel casing in place at depths exceeding 18,000 ft. The next operation was to suspend the well so that the rig could move to its next drilling location, the idea being that a rig would return to this well later in order to complete the work necessary to bring the well into production.
It is thought that somehow formation fluids – oil /gas – got into the wellbore and were undetected until it was too late to take action. With a floating drilling rig setup, because it moves with the waves, currents, and winds, all of the main pressure control equipment sits on the seabed – the uppermost unmoving point in the well. This pressure control equipment – the Blowout Preventers, or ‘BOP’s” as they’re
called, are controlled with redundant systems from the rig.
In the event of a serious emergency, there are multiple Panic Buttons to hit, and even fail-safe Deadman systems that should be automatically engaged when something of this proportion breaks out. None of them were aparently activated, suggesting that the blowout was especially swift to escalate at the surface. The flames were visible up to about 35 miles away.
Not the glow – the flames. They were 200 – 300 ft high. All of this will be investigated and it will be some months before all of the particulars are known. For now, it is enough to say that this marvel of modern technology, which had been operating with an excellent safety record, has burned up and sunk taking souls with it.
The well still is apparently flowing oil, which is appearing at the surface as a slick. They have been working with remotely operated vehicles, or ROV’s which are essentially tethered miniature submarines with manipulator arms and other equipment that can perform work underwater while the operator sits on a vessel. These are what were used to explore the Titanic, among other things. Every floating rig has one on board and they are in constant use.
In this case, they are deploying ROV’s from dedicated service vessels. They have been trying to close the well in using a specialized port on the BOP’s and a pumping arrangement on their ROV’s. They have been unsuccessful so far. Specialized pollution control vessels have been scrambled to start working the spill, skimming the oil up. In the coming weeks they will move in at least one other rig to drill a fresh well that will intersect the blowing one at its pay zone.
They will use technology that is capable of drilling from a floating rig, over 3 miles deep to an exact specific point in the earth – with a target radius of just a few feet plus or minus. Once they intersect their target, a heavy fluid will be pumped that exceeds the formation’s pressure, thus causing the flow to cease and rendering the well safe at last. It will take at least a couple of months to get this done, bringing all available technology to bear. It will be an ecological disaster if the well flows all of the while; Optimistically, it could bridge off downhole.
It’s a sad day when something like this happens to any rig, but even more so when it happens to something on the cutting edge of our capabilities. The photos that follow show the progression of events over the 36 hours from catching fire to sinking.
Langganan:
Postingan (Atom)