Seolah bakal terjun ke jurang tanpa tali, bakda ashar aku memutuskan untuk mencari tau hasil dari apa yang sudah kuperjuangkan itu, menang atau kalah? saat itulah pertama kalinya aku merasakaan makna sebenar benarnya kecewa, dari layar 14 inchi monitor warnet tempat kumencari tau terpampang jelas tulisan yang bermakna bahwa aku gagal di ujian SPMB tersebut, semua serasa gelap dan tak ada apapun yang terlihat, pengen nangis tapi aku ga bisa apa apa, tak ada yang bisa ditangisi, toh kalaupun aku menangis hasil SPMB itu tidak akan berubah. Kecuali akan berubah, aku rela menangis sejadi jadinya bahkan jika memang harus bergulung gulung di depan semua orang di warnet tersebut. Ini adalah kisah nyata, sangat nyata lebih dari 6 taun yang lalu benar benar terjadi dalam diri saya.
Iya, sudah lebih dari 6 tahun lalu, dan akhirnya semuanya berubah ketika semesta memaksaku untuk tetap berkuliah dan banting setir 180 derajat ke jurusan teknik, ke teknik perminyakan. Saya pribadi belum pernah sedikit pun terlintas di benak pikiran saya kalau saya akan masuk ke jurusan teknik, mimpi saya saat itu hanya untuk berkuliah di kesehatan. Lagi lagi saya tak mengerti setan apa yang berhasil mempengaruhi setiap relung dan inchi darah ku yang membuatku mantap berkuliah disana.
Tidak mudah memang, tanpa adanya satu keluarga ataupun koneksi di duniaku yang baru ini, aku berkelana sendiri menentang nasib dan berprinsip untuk merubah apa yang kedua orang tuaku tanamkan kepadaku. Aku terlalu gila memang dalam bermimpi, tapi semuanya beralasan, bukan hanya karena satu dua hal aku menjadi seberani itu dalam bermimpi. Alasan kegagalanku menjadi dokter juga merupakan faktor utama aku menjadi pemimpi ulung, mencoba menentang hierarki orang tua yang memintaku bisa masuk ke perguruan tinggi kedinasan yang bisa meringankan beban mereka dalam membiayai kuliah dan bisa mengamankan masa tua kami dibiayai negara. Entah apakah itu suatu kebanggaan untuk mereka atau tidak, namun itu tamparan berarti untukku, 18 tahun kedua orangtuaku membiayaiku dengan tanpa menjadi seorang pegawai negeri sipil, bekerja lebih dari yang lain demi mengentaskan nasib kedua anak laki lakinya, apakah aku salah untuk berjalan seperti mereka? melebihi mereka? itulah alasan terkuatku mantap di perminyakan dan menolak untuk masuk ke perguruan tinggi kedinasan.
waktu seyogyanya tak pernah berhenti berputar, akan selalu berputar dan akan selalu terlihat semakin cepat. Tanpa sadar tahun ini aku akan berusia 24 tahun dan akan terus menghadapi dunia ini sendiri. Setidaknya aku sudah menginjakkan kakiku lebih jauh dari kedua orang tuaku, tanah jawa, tanah sulawesi, tanah papua, dan besok adalah tanah sumatera.
Time flies and thats life, hari ini adalah hari terakhir aku di kota kelahiranku, akan menuju ke dunia baru di pulau seberang, meninggalkan keluarga besar di solo dan mencari sanak saudara baru sama seperti apa yang imam syafi'i sampaikan:
“Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negeri mu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan. Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang. Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat mangsa. Anak panah jika tak tinggalkan busur tak akan kena sasaran… (Imam Syafi’i)“
Semua sudah digariskan, kalau kau bertanya padakau kawan apa aku pernah memimpikannya? Dengan tegas aku akan mengatakan tidak.
Tapi setelah semua terjadi padaku, dengan berani aku akan mengatakan bahwa aku akan terus bermimpi, berusaha dan berdoa untuk terus hidup dengan apa yang saya punya, mengikuti semesta.
If it bounds to happen, its going to happen. If it isnt we just have to follow the rythm of universe.