Saat itu kami belum mengenal teknologi yang bernama paket data internet, jangankan itu, kami untuk saling berkirim pesan singkat menggunakan SMS saja berfikir beberapa kali kalau lawan komunikasinya berbeda jaringan provider. Itulah jamanku, ketika nomer handphone jauh lebih berharga daripada satu mangkok bakso.
Warnet merupakan salah satu andalan pelajar tempo itu, dengan kapasitas tak ada 1 Mbps di tiap warnet, itu sudah lebih dari cukup jika hanya untuk membuka friendster atau sekedar chat Mirc untuk mencari kenalan. Dengan bermodal "ASL PLS", the world is yours my man.
Tak jauh warnet itu dari rumahku, langsung kucoba situs yang kutuju, lagi lagi belum booming yang namanya searching engine macam google, bing, atau yahoo search. Jika kamu ingin surfing di warnet, setidaknya km harus tau website mana yang akan kamu tuju.
Seketika duniaku gelap, nafas serasa berhenti, namun jantung berdetak 100 kali lebih cepat, berlebihan memang, tapi tak ada lagi kalimat yang lebih lebay untuk bisa ilustrasikan kondisiku sore itu.
Aku sadar sebenarnya kalau memang aku bukan dari keluarga yang pintar, bapakku lulus dari salah satu perguruan tinggi negeri di kota kelahiranku dengan nilai yang bisa dibilang biasa, pun ibuku yang bisa dibilang masih bisa lulus pun oke punya. Tapi apa yang mereka lakukan untuk membentuk anak anak nya sudah terlampau lebih dari apa yang sudah mereka peroleh saat itu.
Tapi memang, inilah yang dinamakan maksud hati memeluk gunung, tapi apa daya tangan tak sampai. Maksud hati ingin menjadi dokter, apa daya nilai tak sampai. Iya, awak gagal di PMDK untuk jurusan Fakultas Kedokteran di salah satu universitas negeri di Kota Jember.
er
Menangis, hal termudah yang bisa dilakukan oleh manusia ketika mereka kesusahan, dan mereka berharap, dengan menangis, masalah sebesar Gunung Jaya Wijaya pun bisa hilang ketika mereka kesusahan.
Ibuku bingung melihat polahku yang layaknya seorang gadis yang pulang dan kehilangan kegadisannya, lemas, tak ada semangat hidup, dan mata lembab laiknya lepas tawuran di kampung sebelah.
"Ngopo to le?" tanya ibuku dengan lirihnya, mencoba memberikan satu pertanyaan yang diharapnya bisa menjawab kegaduhan hatiku saat itu, sayang aku tak mau mengadu, cuma mau mengaduh dan sendiri mencoba meratap kenapa aku lahir sebodoh ini dengan gagal di hal ter remeh yang bernama PMDK.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bapakku bisa dibilang salah satu yang menyatakan kurang setuju jika anak pertamanya mengambil pendidikan sebagai seorang dokter, bukan apa apa, sudah rahasia umum jika menjadi seorang dokter itu tidak membutuhkan biaya yang sedikit, dan waktu studi yang lama.
Aku pun sebenarnya tak tahu kenapa aku bisa bercita cita menjadi seorang dokter, karena pada dasarnya cita cita seorang anak itu selalu berubah sebanyak 5 kali di setiap waktunya. Ketika dia Pre TK, TK, SD, SMP, dan SMA. Dan bisa dibuktikan dari berbagai survey yang tak bertanggung jawab, setiap anak di Indonesia pasti pernah memimpikan menjadi seorang dokter, polisi, dan presiden. Dan begitu pula dengan aku saat itu, bahkan awak pernah berharap menjadi winspector yang menyelamatkan cewek idola jaman SD, ga pernah nyangka fantasi SD awak dulu seliar itu.
Tak tau karena tak tega atau apa, pagi itu bapakku memutuskan untuk mengantarku dan satu orang temenku untuk ke Semarang, iya Semarang, Sekitar 150 km di barat daya kota solo. 3 Jam kira-kira kalau kita agak sedikit ngebut dengan sepeda motor 125 cc.
Universitas Negeri tsb sebenarnya selalu melakukan tes secara berjamaah dengan universitas lain ketika SPMB dijadwalkan, namun karena ada kebijakan universitas diperbolehkan melakukan ujian mandiri, maka dibukalah untuk pertama kalinya ujian mandiri untuk menseleksi calon mahasiswa baru untuk bisa berkuliah di kampus tersebut.
Semarang cukup menjadi kota yang spesial ketika aku masih bersekolah di SMP, you know lah, tak ada masa sekolah yang indah jika tak dibumbui dengan urusan pertinjaan (dibaca: cinta).
Saat itu awak cukup ngefans salah satu gadis riang yang selalu senyum setiap waktu, mau makan senyum, jalan senyum, kejedot meja juga senyum. Tapi sayang, namanya orang ngefans, kalo ga bilang kalo ngefans yah ga bakalan orang tau kalo doi lagi ditaksir. Yah, itulah yang terjadi, sang gadis ternyata harus pindah ke Semarang, bagai Alejandro yang mengucap janji setia kepada Marimar, aku bilang kalau aku bakal nungguin dia, dan ga akan pacaran selama SMA, tapi sayang itu kuucap dalam hati doang, ga langsung depan dia. Dan finalnya, doi punya pacar di selama SMA, da Tuhan mengaminkan ucapan dalam hatiku, jomblo selama SMA.
Boi, benar kata nenek, ucapan adalah doa, maka berhati hatilah dengan ucapanmu, walaupun dalam hati alias mbatin hahaha
Itulah kompetisi keduaku dibidang akademik setelah di SD aku "dipaksa" untuk ikut lomba Matematika se kota Solo oleh guru lesku, dengan alibinya ingin membuktikan kalo aku sebenarnya mampu bersaing, dia memaksaku untuk bersaing dengan orang orang Top di masanya.
Duduk di deretan tengah aku berdoa dan mencoba melupakan peristiwa gagalnya PMDK di salah satu universitas negeri di Jember, dan berharap kemujuranku ada saat aku di Semarang ini.
Ini yang menarik apabila kita mengikuti ujian Mandiri yang dibuka oleh sekolah sekolah negeri, kita diwajibkan mengisi nominal uang gedung yang akan kita bayarkan apabila kita diterima, dan gosipnya nominal ini bisa menjadi pertimbangan apabila nilai kamu kurang. Dan dasar, memang karena watak yang kere tapi bermental baja, awak mengisi form tersebut dengan nominal yang "Cukup".
Hari berganti, lagi lagi dengan bermodalkan beberapa ribu di kantong, selepas maghrib, sekitaran setengah tujuh waktu saat itu, aku kembali ke warnet untuk mencoba mengecek hasil dari ujian mandiri tersebut.
"Maaf anda tidak lulus"
dan semuanya kembali gelap...
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ada pepatah yang bilang, ketika kamu jatuh sekali, berdirilah sekali, jatuh untuk kedua kalinya, berdirilah untuk kedua kalinya, seterusnya sampai kamu bisa berdiri tegap dan berlari...
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Yang ditunggu tiba, anak IPA 1 di sekolahku cukup akrab antara satu dengan yang lain, semuanya dilakukan rame rame, apapun itu, ke kantin kami barengan, nyiulin cewek dari lantai dua, kami barengan, bahkan ke toilet pun bahkan barengan.
Ada pertanyaan sebenere kalo awak jadi guru saat itu, ketika ada yang bilang "Pak, ijin kebelakang", kenapa selalu ada ekor yang ngikuti dari belakang, pengen nyletuk "kenapa ngekor kamu, homo yah?", tapi hmm.. ga tega rasanya menjudge anak bau kencur semacam homo, mungkin memang masanya kalo pipis kebeletnya bisa bareng.
Tapi lucunya, sekarang kalo kerja, ga pernah ada yang ke toilet barengan :))
5 motor saat itu beriringan dari solo menuju Yogyakarta, salah satu kota yang padat akan pelajar pelajar gemes yang minta digemesin. saat itu kami berniat melakukan ujian mandiri yang dibuka oleh salah satu perguruan tinggi negeri di kota gudeg itu. Laiknya semut, ribuan motor memadati kampus yang biru yang berlokasi di bulak sumur.
"Mbah, ini lho mbah kampusku", pintalku ke salah seorang kawanku yang biasa disebut simbah karena sebagian rambutnya berwarna putih karena digigit lebah.
Cukup percaya diri saat itu, yakin bahwa kali ini nasib sudah harus di tanganku.
Kampus yang dipenuhi koas koas cantik sudah didepan mata, melihat calon kakak kakak kelasku yang begitu rupawan, aku terpacu tak sabar menghadapi esok, Ujian Masuk ke Kedokteraan PTN di Yogyakarta.
Pagi hari aku coba persiapkan diri, sial beribu sial, aku tak bisa tidur malam itu, bukan apa apa, aku nervous. Salah satu penyakit orang yang susah sukses adalah nervous. Cukup lama aku di toilet untuk mandi saat itu, penyakitku adalah, mual rasanya kalau kiranya jam tidurku kurang. Keluar semua isi sarapan pagiku yang memang sengaja kulahap sebelum aku mandi.
Kampus ini cukup besar, bisa dibilang satu kelurahan kira kira kalau kita hitung luas area yang dibutuhkan untuk membangun kampus semegah ini.
Fakultas Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, itulah tempatku untuk melakukan ujian pagi itu, entah memang sial atau alam tak berkehendak saat itu, pagi itu, mendung menggelayuti Jogja.
Aku duduk tepat didepan pintu besar yang didukung oleh angin yang bertiup dengan kencangnya siang itu.
Perut kosong ditambah badan lemas, di integralkan dengan posisi duduk, di akar kuadratkan dengan angin, semuanya menjadi hancur.
semesta tak bersahabat lagi denganku...
-------------------------------------------------bersambung---------------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar