Sudah pukul 6 pagi itu, kota seribu universitas dibilangnya, kota pelajar. Jarak antara kos dengan kampus tak kurang 3 kilometer dengan syarat tak boleh membawa kendaraan, salah satu bentuk pengejawantahan dari istilah penyiksaan dimulai.
"Woii Lari Anjing...Woiii Cowok jalan kayak bancii..." Teriakan jelas muncul dari sana sini mengoyak pagi yang cukup dingin ketika perut masih kosong dan hanya berisikan nasi telor 3 ribu perak hasil karya warga Kuningan yang merantau di Jogjakarta.
Ini yang menarik, Jogjakarta ini malah lebih Sunda ketika sudah disekitaran kampus kampusnya, berjejer Warung Burjo (Bubur Kacang Ijo) laiknya Alfamart vs Indomaret dimana mana. Dan lucunya jualan utamanya bukanlah burjo melainkan mie instant, sesuatu yang jauh dari kata sehat namun nyaman di kantong bagi kami mahasiswa.
Sekitar 200 orang dikumpulkan pagi itu di pelataran jurusan, di kampus yang bisa dibilang bukan termasuk yang terbaik di bidangnya, tapi penghasil singa singa yang siap bertarung dengan siapa pun yang berani melawan.
Ada anekdot bahwa kampus kami hanya diciptakan untuk warga industri kelas dua, awalnya aku percaya, namun seiring aku belajar dan lulus dari tempat ini, aku percaya bahwa kami tumbuh menjadi warga kelas satu, setidaknya di hal nyali dalam menerima semua pekerjaan.
"Rapatkan barisaan, samakan tinggi", teriak seorang yang nafasnya sudah bak kamar mandi yang sudah tak dikuras selama bertahun tahun.
Kawan, kau tau bau bak mandi yang tak dikuras kan? itulah rasanya jika kau harus berdiri di tengah lapang dan mendapat cacian dan perintah dari kakak tingkat yang memberlakukan syarat bahwa senior selalu benar. Bau mulut yang tak jelas dan ludah yang lari kemana mana. Satu yang susah kulakukan, perintah samakan tinggi -_-"
Satu hari berlalu, dua hari berlalu, aku masih berdiri tegak di depan mereka semua, satu yang menyeramkan, senior wanita!
Ketahuilah kawan, hal yang paling mengerikan di dunia ini adalah ketika melihat seorang wanita yang mengamuk, ibarat gunung krakatau yang letusannya bisa sampai terdengar ke Amerika, aku lebih memilih menunduk ketika salah seorang senior wanita membentakku. Sudah cukup aku kena bentak ibu di Rumah, sekarang masih harus dengar ibu ibu cerewet ini menghabisiku dengan kata kata rasisnya.
Ada satu cerita lucu ketika saya tak hadir di salah satu acara yang diadakan oleh pihak Himpunan kampus, bagi kami yang tak hadir saat itu diwajibkan untuk datang di salah satu kontrakan dari senior kami. Baju kami dilepas, dan kami diminta berbaris dan menyampaikan alasan kenapa kami tidak datang. Salah satu senior menghampiriku.
"Kamu ikut fitness ya?" seorang kakak pembina cantik bertanya sambil mendorong dadaku.
"Tuhaaan, aku lebih milih tiap hari ga ikut kumpul kalo ketemunya kek ginian", gumamku dalam hati sambil nelen ludah ngliat body kakak senior itu.
Aku masih berusia 18 tahun saat itu, baru lulus SMA, perjaka dan ditanya Ikut Fitness ato enggak. Serasa badan ini terbang dan lupa dengan berat badanku sekarang.
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku bukan lahir di keluarga yang keras walau ibu bisa dibilang adalah ibu yang tak pernah berbicara kurang dari 5 menit setiap memarahiku. Frekuensi bapak mengayunkan sapunya untuk membangunkanku untuk sholat subuh pun bisa dibilang cuma sekali sehari. Jadi bisa disimpulkan betapa indahnya masa kecilku kan?
Walaupun begitu aku tak begitu terbiasa kena tegor tiap hari, mending disikat bapak tiap pagi dibanding ngliat senior senior ini tiap hari.
Satu keinginanku saat itu, "Aku harus keluar dari neraka ini..."
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Harganya masih sama dengan tahun lalu, satu lembar formulir rangkap 3 yang berisi beberapa biodata dan pilihan jurusan yang akan diambil, kuambil satu dan aku balik pulang ke solo malam itu.
---------------------------------------------------------------------------------------------------
"Nanti malam bapak jemput terus temenin bapak ambil mobil ya", kulihat handphone ku bergetar, SMS dari bapak.
Bapak hanyalah seorang karyawan buangan dari salah satu perusahaan percetakan bonafide di kota solo (tebak aja namanya). Iya, dia dibuang setelah dipindahkan ke kantor pusat dan diposisikan sebagai HRD. Seseorang yang menghabiskan hidupnya sebagai Kepala Cabang Sales tiba tiba dipindahkan ke kantor pusat dengan embel embel promosi, namun sebenarnya diumpankan ke mulut buaya.
Beberapa karyawan bermasalah yang cukup dekat dengan bos kebetulan berurusan dengan bapak, itulah yang kubenci dari sistem korporasi, se profesional apapun mereka mengaku, kalo sudah urusan perut, para penjilat akan mucul dimana mana, celakanya aku sekarang hidup di sistem yang tak mengenakkan ini.
Bapak difitnah dan beberapa pihak memaksa bapak mengambil pensiun dini, tak ayal itulah satu satunya pilihan yang dimilikinya, keluar atau tetap bertahan di ketidakadilan.
Bapak keluar dan menghidupi kedua anaknya dengan berjualan mobil. Satu yang aku selalu idamkan dari bapak, beliau bukan tipe orang yang gampang menyerah. Beberapa waktu kemudian beliau juga menerima tawaran untuk ikut membangun perusahaan percetakan sendiri dengan gaji yang tak ada nilainya (dalam makna sebenarnya). Bapak beralasan jiwanya disana, itu pelajaran pertama yang aku ambil dari bapak "Cintai pekerjaanmu, jangan cintai perusahaanmu"
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku duduk sendiri di peron stasiun tua kota itu, stasiun yang mungkin usianya lebih tua dari sejarah negara ini. Duduk termenung mengingat pesan salah satu guruku ketika kutelpon.
"Mas, masak alumni SMA kita masuk ke Univ Swasta", ucap guru geografiku yang menanggapi proposalku untuk sharing profil kampusku. Cukup menyakitkan namun itulah salah satu fakta yang hanya bisa aku iyakan dari dosenku.
Kereta itu datang tepat waktu, se tepat apa yang guruku sampaikan kepadaku.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Bapak sudah siap di depan, aku kali ini mencoba berbakti walau hatiku sebenarnya ingin berontak dan protes atas apa yang sudah aku alami hampir setaun ini.
Tapi aku hanya bisa diam.
"Nanti kamu bawa pulang motornya yah", perintah bapakku tanpa aku mengiyakan.
Setiap aku berbincang dengan bapakku, aku selalu ingat dosa yang pernah aku lakukan ketika aku tak kerjakan soal ujian masuk STAN ketika awal tahun aku berjuang.
----------------------------------------------------------------------------------------------------
"Silahkan masuk Pak, dik, mohon maaf rumahnya berantakan", seorang ibu setengah baya mempersilahkan aku dan bapak memasuki rumahnya. Tidak begitu besar, namun nyaman.
Bapakku dan ibu itu menyelesaikan jual belinya, sebuah mobil Aminity tua yang ingin dia jual karena anaknya dari Riau mengirimkan mobil yang baru.
"Alhamdulillah mas, anak saya masih sayang sama bapak ibunya", celetuk ibu itu.
"Yang saya mau cuma biar anak saya bahagia kok mas, saya masih sayang sebenarnya sama mobil ini, tapi mau bagaimana, anak saya memaksa", ibu itu menambahkan.
Bukan raut sombong, tapi raut kehilangan cintanya di mobil itu, tapi kecintaan ibu itu terhadap kebahagian anaknya jauh mengalahkan cintanya ibu itu ke mobilnya.
"Anak saya pengen saya bahagia, karena kalo saya bahagia, dia akan bahagia mas, dan dia bilang ini mungkin salah satu cara dia mengabdi kepada saya, membahagiakan saya". Seloroh ibu itu.
"Wah kerja dimana bu anaknya?", tanya bapak ke ibu itu
"Caltex mas di Riau", Jawab ibu itu yang aku yang dari tadi terdiam, termenung mencari arti kata membahagiakan orang tua.
Malam ini menjadi malam yang nanti menentukan langkahku, yang secara ajaib menuntunku ke jalan berliku namun pasti akan membawaku ke titik tertinggi nantinya.
-----------------------------------------------------------------------------------------
Pagi ini hari terakhir mengembalikan formulir 3 rangkap itu, sudah terisi semua, pilihan 1 Fakultas Kedokteran, dan didepan kampus itu aku hanya terdiam, pikiranku terisi penuh ucapan ibu tua itu.
"Bapak Ibu ku apa pernah sebahagia dia? Bagaimana aku membahagiakannya?" pikirku.
Saat ini aku kalah akan egoku, mundur dan mencoba mencari tau lebih dalam dari apa yang sebenarnya aku impikan, tujuh langit sudah aku lewati, aku harus tetap membumi.
Pertanyaanku? Apakah aku gagal meraih mimpiku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar