Sabtu, 29 Agustus 2020

Malam penuh bintang..

Cinta mungkin adalah hal yang indah untuk dibahas oleh sebagian orang. Namun tidak untukku, 14 tahun aku belum pernah pacaran, dan seolah tak ada wanita yang sekedar menolehkan kepalanya padaku dan memastikan bahwa aku memang ada di dekat mereka. Pahit memang, tapi itu memang kenyataan yang tak terelakkan selama 14 tahun aku berkelana.

"San, baca soal no 25 sekarang!", suara keras dari guru ekonomi itu membuyarkan lamunanku dan semua kawanku tertawa melihatku tergopoh meninpali perintah yang mengagetkan itu.

Ini tahun keduaku di SMP, yang terbaik di kotaku. Aku akhirnya berhasil melewati batas minimum NEM untuk bisa masuk ke sekolah favorit, bisa dibilang aku akhiri taun terakhirku di SD dengan predikat memuaskan.

Perjuangan 7 hari les tanpa henti yang diminta ibuku dengan menyewa salah satu guru privat berhasil menempatkanku di jajaran terbaik di SD ku, walau bukan 10 besar, tp cukup membungkam kawan kawan yang dulu mencibirku karena aku dianggap tak pantas masuk kelas A.

Itu yang aku benci dari sistem pendidikan di SD ku, bayangkan saja, anak anak yang mestinya masih mencari pokok jati dirinya sudah dipisahkan secara strata IQ dengan embel embel peningkatan mutu kualitas pendidikan anak. Aku memang tak begitu beruntung dalam process klastering itu dimana aku ditempatkan di kelas B ketika kelas 4, hanya karena kepribadianku dianggap rusak oleh wali kelasku saat itu. Kembali lagi, apa iya seorang anak bisa langsung di stempel sebagai anak nakal dan di klastering seperti itu? Entahlah.. 

sekolah ini sangat bonafide, beruntung aku berhasil menempatkan diriku disini dengan segala upaya yang dilakukan orang tuaku saat aku SD dulu.

Sekolah ini sudah ada sejak jaman penjajahan, banyak kawanku yang bercerita dulu sekolah kami ini dipakai sebagai rumah sakit, markas jepang, tempat penampungan senjata, dan banyak lagi versinya. Menariknya ada salah satu sudut ruangan yang tak ada lagi berani masuk bahkan hanya untuk mengintip ruangan itu, gosipnya kita bisa terlempar ke masa penjajahan dulu hanya dengan membuka pintunya. Aneh memang, tp itu yang dipercaya kumpulan anak 13-14 tahunan yang bersekolah disana. Walau kutau, pikiran ga jelas katak gini ga cuma terjadi di sekolahku, kalian juga pasti berfikir sekolah kalian adalah bekas rumah sakit juga hahaha

Bagian depan sekolah kami masih dipertahankan bentuk bangunannya sejak jaman penjajahan, termasuk lorong itu, Lorong yang cukup magis dengan suasananya yang syahdu dan cukup membuat bulu kuduk berdiri ketika maghrib sudah tiba. 

Karena cukup terkenalnya sekolah kami, banyak keluarga dengan kemampuan finansial diatas rata rata yang menyekolahkan anaknya disana. Artinya selain nilai bagus, gadis gadis paruh baya yang memasuki masa pubertas dengan wangi wangian di jamannya pasti mudah ditemukan di sekolahku ini.

Termasuk di kelasku, disini ada memang beberapa gadis yang berhasil membuatku tak tidur setiap malamnya, mencoba membayangkan kalau salah satu dari mereka jadi pacarku saat itu.

Tapi tidak dengan gadis itu.

Aku tau namanya, tapi tak tau apakah dia tau siapa namaku. tiap senin dan kamis sore kami bertemu di halaman tengah sekolah namun bukan untuk saling bertegur sapa, hanya sekedar melihat dan menahan lelah karena kami memang di ekstra kurikuler yang sama.

Dia cantik, tapi karena keberanianku saat itu hanya setinggi tanah yaa aku hanya memasukkan dia dalam katalog gadis gadis cantik di sekolahku, tak ada lanjutan cerita tanganku bergerak untuk memperkenalkan diri atau sengaja kutabrakkan diriku sehingga bisa berkenalan dengannya. Sebut saja aku pecundang karena cerita monyet ini tak berlanjut dengan bahagia.

Tapi saat itu kawan, suara kecil itu datang dan bilang bahwa nanti kami akan bertemu di masa depan, kelak, ketika bintang kembali terang memenuhi langitNya, walau dinginnya malam tak lagi sama tapi kami akan bersama...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar