Kamis, 09 Februari 2012

Batosai!


Masih di era peralihan antara Presiden Sukarno, ke Presiden Suharto.

Dua presiden besar yang paling lama memimpin bumi pertiwi ini, baik buruknya negara ini pun ada di tangan mereka berdua, satu orang membuat negara ini lepas dari belenggu penjajah dan yang kedua menjadikan negara ini sebagai salah satu kekuatan terdahsyat di Asia.

Iya, 1961, sebelum pemberontakan yang masih menjadi misteri itu terjadi, seorang pria lahir di sebuah desa kecil di daerah Nogosari, Boyolali. Dari bapak yang merupakan pensiunan tentara pelajar, dan ibu yang sehari harinya menghabiskan waktunya di kebun atau sawah.

Pria itu anak ke 6 dari 7 bersaudara, sebuah keluarga besar yang dididik di lingkungan agama yang cukup kental di daerah pedesaan, dididik dengan jiwa militer yang masih terpatri kuat di jiwa ayahnya yang selalu berada di garda terdepan ketika sekutu kembali ke tanah air untuk lancarkan agresi ke II nya. Tanpa kenal takut, menghadapi kata maut dengan makna denotasi yg sebenarnya. Dengan gagah berani, hanya demi tanah kelahirannya, Indonesia.

Semangat perjuangan itu mengalir deras dalam darah pria itu, bukan dari golongan orang mampu, bayangkan saja, anak seorang pejuang suka rela, tentara pelajar? Bukan Jendral, punya apa dia? Tapi pria itu tak berhenti untuk terus berjuang mencari ilmu, walau sang ayah sudah melarang untuk sekolah karena tak ada biaya, pria itu tetap rela berjalan dari tanah lahirnya 15 KM menuju kota Solo hanya untuk demi bisa bersekolah disana.

Pernah saking semangatnya pria itu, hanya karena dy yakin dy pasti bisa meraih cita citanya, dy sampai rela ikut orang ke jakarta, ke ibu kota, hanya dengan rayuan bersekolah disana, diambilnya resiko itu, sungguh pria yang pemberani, dan saat itu, dy baru lulus SMP. Walau pun semesta berkata lain, di Jakarta, pria ini hanya dijadikan sebagai pembantu, dan layaknya sebuah lagu dangdut, janji itu palsu.

Memutuskan untuk kembali ke kampung, dengan sejuta penyesalan, pria itu kembali memupuk harapan untuk bersekolah. Dy tempel satu persatu mozaik mozaik mimpinya untuk bersekolah, hanya bersekolah, tidak terlalu mimpi tingginya, tapi begitu berat hal itu diraihnya. Dengan berani dy datangin rumah salah seorang kepala sekolah SMA di kota Solo, dy ceritakan semuanya, dengan penuh harap dy meminta kerendahan hatinya, dy hanya meminta untuk bersekolah. Bukan untuk meminta bayaran, tapi hanya untuk meminta sang kepala sekolah memohon ijinkan kepada sang ayah pria itu agar dy diperbolehkan untuk bersekolah, tanpa tau dari mana uang yang digunakan untuk mendaftar.

Akhirnya ijin pun di raih, tangis haru menetes dari pria itu, kulitnya yang hitam legam tak bisa menahan derasnya tangis bahagia yang keluar dari matanya, akhirnya dia bisa bersekolah. Rela tak dapatkan warisan sepeserpun, demi kesempatan untuk bersekolah, tidak gila harta, hanya minta ilmu, karena dia yakin, Allah akan mengangkat derajatnya kelak, nanti.

33 tahun sudah sejak peristiwa itu, Pria itu duduk bersama anak keduanya, hanya dengan batik seadanya, dengan tatapannya yang masih seperti dulu, masih seperti saat dia meyakinkan ayahnya untuk terus bisa bersekolah, melanjutkan hidup kalau kata dia, walau tak tau darimana uang guna membayar sekolahnya, dia hanya yakin Allah Maha Kaya. Diraihnya telepon seluler pemberian anak keduanya, menghubungi orang yang setiap malam dihubunginya, yang setiap malam selalu diingatkan untuk terus sholat, mengaji, dan ingat kepada Allah. Menghubungi anak pertamanya yang sedang diwisuda di altar kebesaran universitas itu, dengan bangga dy berujar, “kok aku melihat slempang ya di pundakmu”, anak pria itu hanya menjawab “alhamdulillah”, ditutupnya telpon, dan prosesipun berjalan sebagaimana mestinya.

Dengan senyum pria itu datangi anak pertamanya, tak jelas pria itu berkata apa, dy hanya bilang, “aku bangga punya anak seperti kamu”.

Semesta pun serasa terdiam mendengar ucapan itu, ucapan dari pria yang tanpa henti bermimpi untuk bisa bersekolah, hanya demi derajatnya bisa diangkat oleh Allah, dan kini Allah menjawab semua apa yang diharapkannya, bukan menjadi seorang yang jutawan, tapi hanya menjadi umat yang dikasihinya, dengan kebahagiaan ini.

Ya Allah, tempatkan pria itu di kasta tertinggimu, lindungilah dia, sayangi dia, seperti dia menyayangi anak-anaknya di waktu keciil, sayangi dy sama seperti saat dy begitu menyayangi ayahnya, bayar semua air mata yang mengalir ketika ayahnya yang meninggal, bayar keluh keringat yag menetes dari peluhnya ketika dy menggendong jenazah ibunya masuk ke liang lahat. Balas dengan kenikmatan Ya Allah, lindungi Pria ini. Angkat derajatnya, terima kasih Engkau ijinkan hamba bisa menjadi bagian dari pria ini, pria yang sehebat batosai, dan selembut pitung. Juara satu di seluruh galaksi, Bapak :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar