Jakarta, di penghujung januari, dengan suasana sedikit berbeda, euumm..banyak berbeda lebih tepatnya, tidak ada lagi peta sumatera yang besar lengkap dengan WKP (Wilayah Kerja Pertambangan) Pemberian Yayan Mulyana, salah seorang manager yang mengurusi jual beli lapangan2 yang akan digunakan sebagai penopang produksi migas nasional.
Kasur mungil yang dulunya menjadi tempat melepas penat dari jenuhnya kuliah, ujian semesteran, dan saksi bisu tiap malam bergadang mengerjakan skripsi. Sekarang berubah menjadi kasur dengan ukuran yang sama, tapi mempunyai kumpulan pegas didalamnya, sekarang udah pakai spring bed.
Kalau dulu 73 KM jarak dari rumah, sekarang pun berubah, sekitaran 575 KM, adaptasi lingkungan baru? Tentu saja, tapi yaa alhamdulillah saya termasuk ga terlalu rewel kalo masalah kayak gituan. Hehehehe...
Yaaah, lagi lagi saya belum bisa membalikkan arah haluan kapal kembali ke arah semula, dari awalnya ingin membawa kapal untuk menjadi seorang Drilling Engineer, demi sebuah gelar sarjana berani mengambil keputusan untuk sejenak memutar haluan kapal ke arah Reservoir. Dulu awalnya hanya demi satu kata “LULUS” dan gelar sarjana dibelakang nama saya, tapi akhirnya semesta berkonspirasi untuk membuat saya bekerja sebagai Jr. Reservoir Engineer di salah satu konsultan perminyakan di Yogyakarta.
Sekarang pun, setelah lulus, saya masih belum bisa memindahkan laju kapal yang terlalu kenjang mengikuti arah angin sebagai Reservoir engineer. Sementara ini saya menjadi buruh lepas di salah satu perusahaan nasional di Indonesia, kembali menjadi reservoir engineer, naik pangkat setidaknya dari junior menjadi engineer, walo kadang masih keki sendiri depan komputer ngliat segitu banyaknya angka. Satu satunya jalan ya telpon senior. Hahahaha...
Sebenere ga salah sih kerja sebagai seorang Reservoir Engineer, tapi ya itu, saya masih merasa kalau itu bukanlah jalan hidupku. Dengan aktivitas orang kantoran, workdays from Monday to Friday, from 7 o’clock until 4 AM, everydays, dengan style yang biasa disebut “eksekutif muda”, hmm..bukan saya sebenernya. Tapi yaah, bukan Muhammad Afif Ikhsani kalau cuma berkubang di tempat yang sama, dan hanya mencari zona aman, pernah saya berdiskusi dengan salah satu panutan saya, Starly Jellynek Hartono, Field Technical Professional II Baroid Halliburton Thailand, satu pesan yang akan teriang iang hingga nanti, “Keluarlah dari zona nyaman kalau sekiranya kita sudah merasa nyaman”.
Itulah aku, mungkin disatu sisi, saya adalah orang yang bs dibilang agak sedikit penakut, gampang ngeper kalo menghadapi sesuatu, tapi bertahan di satu tempat dan mencari kenyamanan semata, itu bukanlah saya. I do love challenge. Yaah, semoga keputusan untuk mengambil pekerjaan ini, sebagai Reservoir Engineer itu tepat, dan sebagai batu loncatan kelak untuk mengembalikan arah kapal saya. Setidaknya apa yang saya pilih kali ini merupakan sesuatu hal yang sudah bisa membuat kedua orang tua saya tersenyum. Bahkan menangis, bukan menangis karena sedih, tapi menangis karena bangga.
Masih teriang hari itu, hari sabtu 21 Januari 2012, untuk pertama kalinya saya teteskan air mata, bukan karena apa apa, hanya karena tersentuh hati terdalam saya, melihat kedua orang yang paling saya cintai, ayah dan ibu, Cuma diam dan tersenyum bangga melihat saya berdiri di podium kebesaran itu, untuk memindahkan tali dari toga kebesaran dari kiri ke kanan, dan tulisan cumlaude melekat di pundak saya, demi Tuhan yang menguasai hari pembalasan, semua yang sudah bapak dan ibu saya lakukan selama ini, mendidik saya, dengan berbagai cara yang mereka anggap terbaik, sudah berhasil membuat saya dari seorang bocah yang dulunya hampir dicap gagal oleh beberapa orang, menjadi seorang pria, pria yang bertanggung jawab, menjadi pria sehebat bapak saya, bapak Juara satu di seluruh Galaksi!
Masih sangat teringat malam itu, kalau tak salah saya masih berusia 3 tahunan, tiba tiba darah mengucur deras dari hidung saya, dengan sigap bapak mengeluarkan sepeda onthelnya, menaikkanku diatas boncengan di belakang, dan membawaku ke rumah sakit. Malam yang sangat gelap. Tanpa melupakan rasa sakit yang sudah ibu relakan ketika perutnya harus dibelah karena saya harus lahir caesar, Tuhan memang adil, sangat adil. Diangkat lah derajat mereka berdua, dari awalnya setelah menikah hanya dengan modal ibadah karena Allah, akhirnya berangkat juga ke tanah suci untuk menyempurnakan ibadah, semoga Allah selalu berikan yang terbaik untuk mereka.
Saya dedikasikan, semua yang sudah pernah saya dapatkan, atas cinta yang sudah dieksploitasi untuk mereka, hal baik yang entah mereka bangga atau tidak, untuk kedua orang tuaku. Iskandar dan Siti Chobilaisani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar